PAMEKASAN, MaduraPost – Setelah wafatnya Khalifah Umar bin Khattab, umat Islam menghadapi momen penting dalam sejarah kepemimpinan mereka.
Dalam situasi yang kritis, umat Islam tidak terburu-buru dalam memilih pemimpin baru, melainkan melalui proses musyawarah yang mendalam di antara sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW.
Utsman bin Affan, seorang sahabat yang terkenal dengan kedermawanan dan kelembutannya, akhirnya terpilih sebagai Khalifah ketiga, memimpin umat Islam melalui masa-masa penting dalam sejarah.
Syura: Musyawarah yang Menentukan
Proses pemilihan Khalifah ketiga berlangsung dalam suasana musyawarah yang penuh hikmah.
Sebelum wafat, Umar bin Khattab, yang terluka parah setelah diserang oleh Abu Lu’lu’ah, memutuskan untuk tidak menunjuk penggantinya secara langsung.
Sebagai gantinya, Umar membentuk dewan syura yang terdiri dari enam sahabat terkemuka untuk bermusyawarah dan memilih khalifah selanjutnya.
Enam sahabat yang dipilih oleh Umar adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, meskipun Thalhah tidak hadir karena berada di luar Madinah saat itu.
Keenam sahabat ini merupakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam, yang dikenal dengan keilmuan, kesetiaan, dan kontribusi mereka dalam perjuangan Islam.
Tugas besar mereka adalah memilih pemimpin yang akan melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan setelah Umar bin Khattab.
Abdurrahman bin Auf sebagai Penengah
Dalam musyawarah tersebut, Abdurrahman bin Auf memainkan peran sentral sebagai penengah.
Setelah diskusi intensif, Abdurrahman memutuskan untuk mengundurkan diri dari pencalonan dan berfokus pada mengumpulkan pendapat dari sahabat-sahabat lain dan masyarakat umum.
Ia kemudian menghabiskan beberapa hari bertanya kepada para sahabat, orang-orang yang memiliki pengaruh, serta rakyat biasa di Madinah tentang siapa yang mereka anggap layak menjadi Khalifah berikutnya.
Abdurrahman bahkan mendatangi para wanita, anak-anak, dan warga yang tak dikenal untuk mendengarkan suara mereka, mencerminkan prinsip syura yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.
Pilihan Mengarah kepada Utsman dan Ali
Setelah proses panjang dan penuh pertimbangan, dua nama muncul sebagai calon terkuat: Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Kedua sahabat ini dikenal sebagai tokoh terdekat Nabi Muhammad SAW dengan keutamaan dan reputasi yang luar biasa.
Namun, perdebatan dan musyawarah akhirnya mengerucut pada Utsman bin Affan, yang dipandang lebih netral di tengah perbedaan faksi-faksi yang ada, serta dikenal dengan sifatnya yang lembut dan dermawan.
Keputusan ini didukung oleh mayoritas umat, dan akhirnya Abdurrahman bin Auf mengumumkan Utsman bin Affan sebagai khalifah yang baru.
Abdurrahman mengangkat tangan Utsman dan melakukan bai’at, diikuti oleh sahabat-sahabat lain dan masyarakat Madinah.
Bahkan, Ali bin Abi Thalib, yang juga calon kuat, turut memberikan bai’at dan dukungannya kepada Utsman.
Khalifah Utsman bin Affan: Awal Kepemimpinan
Setelah resmi terpilih, Utsman bin Affan memulai masa kepemimpinannya sebagai Khalifah ketiga dengan memegang prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan umat.
Di bawah kepemimpinannya, kekhalifahan Islam mencapai ekspansi yang lebih luas, termasuk penaklukan wilayah Persia, Afrika Utara, dan pulau-pulau di Mediterania.
Utsman juga dikenang sebagai sosok yang menyusun kembali Mushaf Al-Qur’an ke dalam satu versi yang resmi, yang kemudian disebarkan ke berbagai wilayah kekhalifahan untuk memastikan keseragaman bacaan dan menjaga kemurnian teks Al-Qur’an.
Namun, di balik masa-masa kejayaan itu, akhir kepemimpinan Utsman diwarnai oleh pergolakan politik dan ketidakpuasan sebagian kelompok, yang berpuncak pada pemberontakan.
Pada tahun 656 M, Khalifah Utsman dibunuh oleh para pemberontak di rumahnya sendiri di Madinah, meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam.
Warisan Syura dan Kepemimpinan
Pemilihan Utsman bin Affan sebagai Khalifah ketiga melalui syura mencerminkan bagaimana tradisi musyawarah dan demokrasi Islam dijalankan pada masa awal.
Utsman bin Affan dikenang bukan hanya sebagai khalifah yang berhasil memperluas wilayah Islam, tetapi juga sebagai sosok yang berperan penting dalam menjaga kemurnian Al-Qur’an dan menegakkan prinsip-prinsip syura dalam kepemimpinan Islam.
Meski masa pemerintahannya berakhir tragis, warisan kepemimpinan dan kedermawanan Utsman tetap abadi dalam sejarah Islam dan menjadi teladan bagi generasi-generasi berikutnya.***