PAMEKASAN, MaduraPost – Ahmad Wahib adalah sosok yang mungkin asing bagi banyak orang, tetapi pemikiran dan perjalanan hidupnya menyimpan kisah yang layak dikenang. Pemuda asal Kabupaten Sampang, Madura, ini dikenal sebagai cendekiawan muda yang kritis, progresif, dan penuh gagasan.
Sayangnya, hidupnya berakhir tragis pada 31 Maret 1973 akibat kecelakaan lalu lintas di Jalan Senen Raya–Kalilio, Jakarta.
Jenazah Wahib dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Namun, jejak fisik makamnya kini tak lagi ada. Proyek pelebaran jalan diduga telah menggerus pusara Wahib.
Pada 1980, ibunda Wahib, Ummu Kultum, mencoba berziarah, tetapi ia hanya menemukan sisa-sisa artefak makam yang diyakini sebagai milik anaknya. Kenangan akan Wahib kini hanya hidup melalui tulisan-tulisan dan cerita mereka yang mengenalnya.
Lahir di Sampang pada 9 November 1942 dari pasangan Sulaiman dan Ummu Kultum, Ahmad Wahib tumbuh dalam lingkungan agamis. Ayahnya adalah tokoh guru ngaji yang dihormati, memberikan Wahib dasar pendidikan Islam yang kuat.
Setelah menamatkan pendidikan di SMAN 1 Pamekasan, Wahib melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Namun, perjalanan akademis Wahib tak berjalan mulus. Ia gagal menyelesaikan studi sarjananya. Meski demikian, kegagalannya di bangku kuliah tak menghalangi Wahib untuk terus berkarya.
Ia aktif menulis di berbagai media, membangun reputasi sebagai pemikir muda dengan ide-ide segar dan kritis.
Di Yogyakarta, Wahib dikenal sebagai mahasiswa yang aktif dalam organisasi. Ia bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi yang mewadahi intelektual muda Islam.
Namun, seiring waktu, Wahib merasa tidak lagi sejalan dengan arah organisasi tersebut. Ia memilih mendirikan Lingkaran Diskusi Limited Group, wadah yang lebih terbuka untuk menyalurkan pemikirannya. Wahib kerap menuangkan ide-idenya dalam catatan harian.
Tulisan-tulisannya mencerminkan kegelisahan seorang pemuda yang berani mempertanyakan dogma dan mencari pemahaman baru tentang agama, masyarakat, dan kemanusiaan.
Sayangnya, kematian di usia 30 tahun memotong langkahnya sebelum ia dapat mendalami dan mengembangkan gagasan-gagasannya lebih jauh.
Sebelum kecelakaan tragis yang merenggut nyawanya, Wahib baru saja memulai karier sebagai wartawan di Majalah Tempo.
Kehidupan barunya di Jakarta adalah upaya untuk memperluas pengaruh pemikirannya melalui media. Namun, takdir berkata lain.
Meski makam Wahib telah hilang, pemikiran dan warisan intelektualnya tetap hidup. Tulisan-tulisannya menjadi bahan refleksi bagi generasi muda yang ingin menantang status quo dan mencari jalan baru dalam berpikir.
Bagi banyak orang, Wahib adalah simbol keberanian intelektual, seorang pemuda yang tak takut menggali pertanyaan-pertanyaan besar meski jawabannya mungkin tak pernah ditemukan.
Kini, tugas kita adalah menjaga nyala itu tetap hidup. Ahmad Wahib telah meninggalkan dunia ini, tetapi percikan pemikirannya terus menginspirasi, menyala di hati mereka yang ingin melanjutkan jejaknya. Sebuah warisan yang tak tergerus oleh waktu, meski jejak makamnya telah hilang.***