OPINI, MaduraPost – Mendidik merupakan kewajiban bagi pendidik, dalam Islam dapat ditemukan makna bahwa pendidik ialah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh potensi peserta didik, baik afektif, kognitif maupun psikomotorik (Ahmad Tafsir, 74:1992). Menurut Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, pendidik memiliki beberapa persamaan kata yakni guru, ustadz, ulama, ayah dan ibu dalam keluarga, tokoh masyarakat dan siapa saja yang memfungsikan dirinya untuk mendidik. Siapa saja dapat menjadi pendidik dan melakukan upaya untuk mendidik secara formal, informan dan nonformal (47:2009).
Menurut Nur Uhbiyati, Pendidik dapat dikatakan mendidik dan layak dikatakan sebagai pendidik, apabila mampu untuk menjadi teladan, melakukan pembinaan serta mendemontrasikan yang dapat mengarahkan serta menuntun peserta didik kepada arah yang dijadikan tujuan dalam pendidikan Islam (14:2005).
Sehingga pendidik dapat dipahami sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan rohainya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaanya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari pemahaman pendidik tersebut, maka Guru Tolong (guru yang pertama kali mengajarkan ilmu agama biasanya dikampung atau pedesaan yang kehidupannya jauh dari kata layak) juga termasuk dalam katagori pendidik bahkan mereka merupakan pionir terhadap peserta didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, yang keberadaannya seringkali kurang begitu ‘diperhatikan’ oleh kebanyakan manusia. Sebab jasanya tidak sementereng dengan pendidik yang lain semisal guru ASN atau bahkan guru honorer.
Seiring dengan perkembangan zaman, keberadaan Guru Tolong semakin tersisih, bahkan bukan hanya oleh peserta didik yang pernah menimba ilmu kepadanya. Tetapi masyarakat, termasuk pemerintah yang seolah ‘mengacuhkan’ keberadaanya. Misalnya seperti bantuan terhadap guru ngaji atau semacamnya yang tidak kunjung cair. Di mana bantuan tersebut, setidaknya bisa mengurangi beban perekonomiannya.
Pada saat bulan puasa, khususnya di 10 terakhir. Ketabahan dan kesabarannya, semakin diuji dengan semakin merebaknya amil-amil zakat baik yang legal maupun yang ilegal. Yang secara hukum Islam lembaga-lembaga zakat yang ada juga termasuk katagori yang berhak menerima zakat. Akan tetapi, problem yang kemudian muncul ketika dalam pendistribusiannya.
Berdasarkan pasal 25 UU No.23 Tahun 2011, perihal model pendistribusian zakat telah diatur bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahik (golongan yang berhak menerima zakat) sesuai dengan syari’at Islam. Sedangkan cara pendistribusiannya disebutkan dalam pasal 26 UU No. 23 tahun 2011, yaitu pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas, dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Yang dimaksud dengan skala prioritas adalah dari delapan ashnaf yang ditentukan, ada golongan yang mendapat prioritas menerima zakat, yaitu fakir dan miskin. Karena tujuan zakat adalah untuk pengentasan kemiskinan. Sedangkan asas pemerataan adalah zakat tersebut dibagi rata keseluruh ashnaf, kecuali apabila zakatnya sedikit, maka fakir miskin adalah prioritas penerima zakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan asas kewilayahan adalah zakat diutamakan didistribusikan kepada mustahik di wilayah lembaga zakat tersebut berada, apabila semua mustahik telah mendapatkan bagiannya, sedangkan zakat masih tersisa, maka pendistribusian zakat dapat diarahkan kepada mustahik di luar wilayah lembaga zakat itu berada.
Menurut Imam al-Syairazi mengatakan bahwa seorang fakir yang mampu tenaganya diberi alat kerja, yang mengerti dagang diberi modal dagang. Imam an-Nawawi dalam Syarh al-Muhazzab merinci perkataan Imam al-Syairazi bahwa penjual roti, penjual minyak wangi, penjahit, tukang kayu, penatu, dan lain sebagainya diberi uang untuk membeli alat-alat yang sesuai. Ahli jual beli diberi zakat untuk membeli barang-barang dagangan yang hasilnya cukup untuk sumber penghidupan tetap.(2002:45).
Dalam hal pendistribusian, zakat memiliki dua model pendistribusian, yaitu pendistribusian secara langsung atau zakat konsumtif. Diantara model pendistribusian zakat konsumtif seperti bantuan pangan, pakaian, dan tempat tinggal; Bantuan pendidikan (Mendirikan dan atau membantu pembangunan/renovasi madrasah dan pondok pesantren; Pembangunan sarana dan prasarana keterampilan. Membangun perpustakaan Beasiswa ). Sarana Kesehatan dan Sarna Sosial.
Sebelum mendistribusikan zakat konsumtif perlu dilakukan perencanaan dengan melakukan observasi lapangan untuk menentukan kelompok masyarakat yang akan mendapatkan bantuan. Penentuan mustahik dan pelaksanaan pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak terkait seperti pemerintah setempat, LSM, ataupun ormas. Setelah pelaksanaan, perlu dilakukan evaluasi, untuk mengetahui apakah pendistribusian telah tepat sasaran, apa saja kekurangan-kekurangan yang ditemukan dalam pendistribusian, agar diperbaiki pada saat pendistribusian berikutnya.
Kemudian model pendistribusian secara tidak langsung atau zakat produktif. Zakat produktif adalah zakat yang disalurkan untuk tujuan pemberdayaan mustahik, untuk memproduktifkan mustahik atau dana zakat diinvestasikan pada bidang-bidang yang memiliki nilai ekonomis. Karena UU No. 23 Tahun 2011 mengamanatkan pengelolaan zakat produktif, yang dilakukan setelah kebutuhan pokok mustahik dalam bentuk zakat konsumtif telah terpenuhi.
Zakat produktif memiliki nilai lebih dibandingkan zakat konsumtif, karena mengandung makna pemberdayaan mustahik. Dengan pola zakat produktif dapat mengubah status mustahik menjadi muzakki, karena dengan modal usaha yang dimiliki, seorang mustahik dapat mengembangkannya dan apabila berhasil, maka ia berganti menjadi orang yang wajib membayar zakat. Karena memiliki kelebihan harta hasil usaha yang dijalankannya.
Dapat dikatakan bahwa bagi mustahik yang lemah fisik dan akalnya (karena faktor usia seperti sudah tua atau masih anak-anak), maka disalurkan kepadanya zakat konsumtif atau modal yang diusahakan oleh orang lain dengan sistem syirkah. Sedangkan bagi mustahik yang masih muda, masih mampu berusaha, serta memiliki kecakapan dalam berusaha yang didapat dari pengalaman atau pelatihan, maka yang terbaik untuk diberikan kepadanya adalah diberi zakat produktif dengan pendampingan, pembinaan, dan pengawasan dari amil.
Zakat harus dikelola secara produktif, karena penyaluran zakat secara konsumtif, hanya dibenarkan kepada fakir miskin yang tak berdaya. Sedangkan bagi fakir miskin yang berdaya, memiliki kekuatan, bahkan memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, penyaluran zakat harus bersifat produktif sehingga penyaluran zakat dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.
Ada beberapa contoh zakat produktif yang dapat dilakukan oleh lembaga zakat dalam menyalurkan dana zakatnya, diantaranya:Pemberian bantuan modal kerja atau untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi. Bantuan pendirian tempat usaha. Dukungan kepada mitra binaan untuk berperan serta dalam berbagai event dan pameran guna memasarkan hasil kerajinan dan usahanya.
Penyediaan fasilitator dan konsultan untuk menjamin keberlanjutan usaha, misalnya Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) yang mengembangkan strategi pemberdayaan pengusaha kecil dan menengah dalam bentuk alih pengetahuan, keterampilan, dan informasi. Pembentukan lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT atau Lembaga Ekonomi Bagi hasil (LEB). Pembangunan industri, yang melibatkan mustahik-mustahik sebagai pekerjanya.
Bentuk pengelolaan zakat produktif merupakan pendistribusian zakat yang disertai target merubah keadaan penerima dari kondisi kategori mustahik menjadi muzakki. Target ini adalah target besar yang tidak dapat mudah dicapai dalam waktu yang singkat. Perlu proses yang berkesinambungan. Amil melakukan peran pembinaan dan pengawasan terhadap zakat produktif yang diterima mustahik.
Back to Problem, Guru Tolong yang biasanya menjadi bagian orang yang menerima zakat, karena dianggap termasuk fi sabilillah yang merupakan bagian dari golongan-golongan yang berhak menerima zakat, kini mulai ‘tersisih’ bahkan bisa dibilang terdekradasi oleh sebuah sistem yang kurang inovatif. Karena pada tataran wilayah (desa atau kampung), guru tolong masih saja masuk katagori sebagai orang yang konsumtif. Padahal mereka dari segi keberdayaannya seharsnya masuk katagori yang produktif.
Kepraktisan dalam pendistribusian zakat harus digalakkan sehingga posisi Guru Tolong semakin jelas masuk dalam katagori konsumtif ataukah produktif. Apabila dalam pendistribusian zakat tidak praktis, maka Guru Tolong berada pada rasa dilema yang keduanya tidak praktis untuk diterima. Disatu sisi mereka masuk katagori konsumtif, karena termasuk fakir miskin (tidak berdaya). Di sisi yang lain mereka masuk katagori produktif, karena termasuk fakir miskin (berdaya) dan fi sabilillah.
Hal tersebut harus segera dicarikan solusi, agar tidak terjadi rangkap katagori. Apabila masih rangkap katagori, maka skala prioritas yang memiliki pemerataan dan keadilan hanya akan menjadi wacana semata, maka disamping dua model pendistribusian tersebut, model pendistribusian zakat yang praktis perlu dicoba. Di mana pendistribusian zakat praktis yakni pendistribusian zakat yang dilakukan dengan mudah dan menyenangkan. Dalam artian, muzakki tidak ‘dipersulit’ untuk mengeluarkan zakat (tidak terlalu terikat dengan sistem yang ada) sehingga pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam pendistibusian (memberi kelonggaran terhadap muzakki kepada siapa saja dia akan mendistibusikan zakatnya sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan dikampung atau desa) dan zakat yang dikeluarkan oleh muzakki bisa membuat senang mustahik (zakat bisa dengan uang yang setara dengan makanan pokok).