ARTIKEL, MaduraPost – Setiap kebijakan pasti menyisakan pro dan kontra, seperti akhir-akhir ini yang marak di media sosial tentang seragam sekolah. Statement kebijakan yang tanpa dibaca sudah dibagikan. Minimnya budaya literasi menjadi salah satu pengaruh serta terbukanya akses media sosial. Akses yang membabi-buta di bidang informasi. Terkait dengan ini, pendidik harus menyiapkan dan membiasakan diri “literasi” kepada murid.
Inilah gambaran pendidikan kita, kebijakan yang berupa berlian terkadang tidak hanya terkesan seperti perak, berkilau namun abu-abu. Perjalanannya tak semulus idenya, kenyataannya kebiasaan literasi 15 menit sebelum pelajaran dimulai hanya ada dalam “jadwal pelajaran kelas” kalaupun berjalan tidak sepenuhnya dapat mencapai tujuan dan prinsip literasi sebenarnya. Hanya dibaca aja untuk memenuhi kewajiban dan menuntaskan program saja. Sorotannya hanya pada pelaksanaan tanpa berbicara hasil, wawasannya tidak bertambah karena sebatas membaca (read.dikelas pribadi).
Fakta demikian harusnya menjadi peringatan bagi kita, seperti apa sebenarnya pendidikan yang ada di Negara kita. Terkadang pemangku kebijakan sibuk untuk memberbaiki covernya namun isinya sama saja. Dua tahun yang lalu kita mendebat tentang perubahan kurikulum, yang dianggap membingungkan sebagian besar pendidik. Dalam perjalanannya kita mengenal “platform merdeka mengajar” dilansir dari web Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan “Tiga fungsi utama, yaitu membantu guru untuk mengajar, belajar, dan berkarya”. Jika di telisik lebih lanjut, banyak Guru yang tidak mengikuti muncul dan bertambahnya pelatihan mandiri pada platform tersebut. Karya yang semula menjadi bentuk aksi nyata berubah menjadi aksi jiplak karya” dan memiliki cukup banyak jamaah.
Hal yang sebenarnya bisa kita berdayakan dan menjadi senjata untuk Indonesia emas 2045 justru hanya menjadi jargon. Merdeka Belajar yang banyak diberitakan harusnya menjadi motivasi terbaik bagi guru untuk mewujudkannya. Fokus perubahan kurikulum yang menjadi perdebatan harusnya bisa dikesampingkan dengan menyadari bahwa yang terpenting adalah implementasi pembelajaran. Bagaimana kita sebagai Guru dapat menyajikan kebutuhan yang cukup kepada siswa untuk menciptakan ruang pembelajaran yang sesuai dengan kemauan siswa, yaitu tumbuh dan berkembang sesuai bakat dan minatnya bukan sebaliknya seperti yang terjadi pada pendidikan kita, Merdeka belajar adalah kemerdekaan belajar yang diberikan oleh Guru, semau Guru dan sebisanya Guru tanpa ada keinginan untuk berkembang (read. tidak semua tapi oknum).
Secara sistem kita telah membangun kebiasaan yang justru memerdekakan diri dan menjajah siswa, pembelajaran di kelas berlangsung secara monoton. ditraksi administrasi Guru menjadi salah satu alasan untuk membuat penugasan seolah menjadi budaya pembelajaran sebagai suatu standardisasi capaian pembelajaran. Akhirnya murid menjadi tidak mandiri dan tidak terstimulus untuk belajar dan menemukan pengalaman belajar yang Merdeka.
Konteks bahwa guru adalah pusat ilmu yang menjadikannya berada di atas murid, sehingga yang disampaikan guru menjadi fatwa bagi murid. Terbayangkan akibatnya jika yang disampaikan adalah konsep lama yang harus diperbarui karena adanya penyesuaian dan perubahan peraturan.
Hal seperti ini banyak kita temui didunia pendidikan (read. sekali lagi ini oknum), tidak mudah untuk memberantas akar masalah ini, butuh usaha sadar secara mandiri untuk menyesuaikan kemampuan personal yang selaras dengan kurikulum. menjadi pemimpin pembelajaran yang dimulai dari hal kecil, dengan memulai dikelas sendiri. Kehadiran guru dalam lingkungan pendidikan adalah untuk menyamakan misi bukan untuk mengunggulkan diri. menjadi guru yang peka terhadap lingkungan pendidikan sejatinya adalah bagian dari merdeka belajar. Merdeka dalam artian dapat memberikan ruang belajar yang sesuai kehidupan murid serta menyajikannya sesuai porsinya. memahami emosional murid bukan serta merta mengajar dengan emosi karena beban administrasi yang tidak bisa dihindari.
Perjalanan Merdeka Belajar yang dapat kita maknai dengan kemauan dan kemampuan logika berfikir untuk membuat keberadaan sekolah dirindukan oleh muridnya sehingga tercipta pendidikan yang tepat sasaran bukan jalan ditempat.






