ARTIKEL, MaduraPost – Siapa sebenarnya yang pantas disebut sebagai Guru? Apakah semua orang yang memiliki profesi mengajar? Memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai guru? Atau siapapun yang mengajar murid dan menyampaikan beberapa bidang ilmu?
Beberapa pertanyaan ini seakan membangunkan saya yang tengah terlena dengan pekerjaan ini, datang ke sekolah, berdiri didepan kelas, mengajar sesuai jadwal, menjalankan kurikulum. Seolah kegiatan ini membuat saya merasa sebagai seorang guru.
Ketika wacana kurikulum baru muncul, maka kami berlomba untuk mencoba mempelajari, mendalami bahkan melakukan uji kaji sebagai eksperimen kesesuaian.
Hal ini mungkin persentasenya lebih tinggi dibandingkan ketika belajar mendalami kepribadian masing-masing siswa diawal pembelajaran sebagai bentuk transisi dari kelas sebelumnya. Ironisnya, upaya ini dianggap sebagai hasil akhir untuk memahami karakter siswa. Penggunaan asesmen diagnostik seolah menjadi gambaran akhir kemampuan siswa.
Sehebat itu guru, seketika menjadi psikoterapis, konselor atau bahkan sebagai dokter. Dengan analisa awal untuk menyiapkan obat berwujud metode atau teknik pembelajaran. Melalui cara yang beragam, seolah menjadi dosis terbaik.
Sebagai guru, dalam menjalankan pembelajaran setidaknya harus mengutamakan SOP, mengesampingkan kepolosan murid. Karena tujuan akhirnya adalah ketercapaian kurikulum. Secara linguistik berarti keadaan demikian dapat disebut sebagai seorang guru. Lalu kepantasan diri sebagai seorang guru apakah hanya cukup dengan mengajar sesuai kurikulum, keadaan ini membuat saya berpikir hanya sebagai robot pendidikan berlabel guru. Nama yang menjadi tempat persembunyian selama ini.
Awalnya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa sangat membanggakan, munculnya kompensasi terhadap kontribusi guru membuat sebutan ini memudar. Kebijakan tunjangan profesi, seolah sebagai upaya mencapai kesejahteraan guru. Mirisnya kompensasi ini dianggap tidak memberikan perubahan terhadap kondisi pendidikan di Negeri ini. Konsepsi seorang guru hanya sebagai penonton pendidikan, bukan sebagai pelaku utama tujuan pendidikan.
Usaha dan upaya yang dilakukan juga seolah hanya mengejar kurikulum, bukan mengejar harapan siswa, memahami kepolosan masing-masing siswa, menyayangi siswa yang belum mampu memahami pembelajaran, menyediakan waktu lebih untuk membimbing siswa, bersedia secara totalitas atau menjadi guru secara kaffah.
Saya ingin menjadi guru yang tidak terbatas pada dinding kelas, yang hanya memperlakukan siswa sebagai peserta didik yang hanya diberikan pendidikan tanpa mempedulikan kebutuhannya. Ingin menjadi guru yang sebenarnya tanpa stereotip kepada siswa.
Saya ingin menjadi guru yang mengenal dengan siswanya, layaknya saya sebagai orang tua yang mengenal semua kepribadian anaknya.
Saya ingin menjadi guru yang berdaulat, yang memiliki orientasi kasih sayang kepada muridnya, dalam bentuk pemenuhan kebutuhan belajarnya terlepas dari sekedar kebutuhan akademik.
Saya tidak ingin menjadi guru yang merasa sebagai dewa pendidikan, berhak menilai siswa dengan persepsi kita sendiri, merasa memiliki daulah dikelas. Mengendalikan murid sebagai pion-pion untuk mematuhi yang difatwakan.
Saya tidak ingin menjadi guru yang hanya menjadikan standarisasi nilai untuk membedakan perlakuan terhadap siswa. Mengeksploitasi kelebihannya dan tidak mau terhadap kekurangannya.
Saya tidak ingin menjadi guru yang menjajah kemerdekaan siswa untuk mengungkapkan ketidaktahuannya yang seringkali menyita waktu kita.
Saya ingin menjadi guru, yang mengenalkan budaya lokal sebagai kekayaan Indonesia, sehingga siswa bangga menjadi bagian Indonesia, membuka pikirannya untuk ikut mengenalkan kearifan lokal dan mengurangi kegandrungannya terhadap budaya luar.
Saya ingin menjadi guru yang mampu membentuk ekosistem kekeluargaan, memotivasi siswa untuk senang berada di sekolah. Tanpa harus takut atau terbelenggu dengan tugas, PR, Ulangan atau asesmen yang membuat siswa berpikir keras sebelum melaksanakannya.
Saya ingin menjadi guru yang mampu menyibukkan diri untuk mengurus semua kebutuhan belajar siswa, mengeksplorasi potensinya, guru yang mampu memberikan kesempatan dan kesetaraan kepada setiap murid untuk berkembang sesuai kemampuannya.
Saya ingin menjadi guru yang mampu melepas belenggu “sekolah adalah penjara”, menjadi guru yang mampu mengeluarkan potensi bawaan pada siswa sesuai dengan pengertian dasar pendidikan.