SURABAYA, MaduraPost – Di tengah heningnya kawasan tambak Jalan Keputih, Sukolilo, Surabaya, sebuah tragedi pembunuhan mengguncang komunitas pencari kepiting.
Kasus ini bukan semata tentang kekerasan, melainkan cerminan dari persaingan yang mematikan dalam perebutan sumber daya alam.
Pada hari Selasa, 19 Maret 2024, Polrestabes Surabaya mengungkap kronologi pembunuhan berencana yang menewaskan Mochamad Hudoyo (44), seorang pencari kepiting asal Medokan Semampir, Sukolilo, oleh rekannya sendiri, Seli Hadianto (41).
Kisah ini dimulai dari perselisihan perebutan wilayah pencarian kepiting, yang ternyata menyimpan dendam mendalam di hati pelaku.
Seli dan Hudoyo, meski bersahabat, ternyata terjerat dalam persaingan bisnis yang akhirnya merenggut nyawa.
Mereka telah saling mengenal selama satu tahun, berbagi suka dan duka di tambak-tambak kepiting Surabaya, sebelum iri hati dan cemburu profesional memisahkan mereka.
AKBP Hendro Sukmono, Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, memaparkan bahwa pelaku sudah berencana membunuh korban dengan membawa celurit dari rumahnya.
“Keputusan ini tidak dilakukan secara spontan, melainkan hasil dari perencanaan matang yang didorong oleh rasa dendam,” kata AKBP Hendro.
Korban ditemukan sekitar pukul 01.30 WIB oleh rekan kerjanya, juga seorang pencari kepiting, dalam keadaan yang menyedihkan; meninggal dunia dengan luka yang menganga.
Kematian Hudoyo tidak hanya meninggalkan luka bagi keluarga dan teman-teman, tetapi juga menyoroti kerasnya kehidupan para pencari nafkah di pinggiran kota.
Penangkapan pelaku di Desa Kemuningsari Lor, Panti, Jember, pada Kamis, 21 Maret 2024, membawa sedikit keadilan bagi korban.
Namun, keadilan hukum tidak bisa mengembalikan nyawa yang hilang atau menghapus luka yang telah tertanam dalam komunitas tersebut.
Pembunuhan ini menjadi pengingat pahit tentang betapa nilai kehidupan bisa tergerus oleh keputusasaan dan persaingan.
Kisah tragis ini tidak hanya tentang hilangnya seorang pencari kepiting, tetapi juga tentang kegagalan kita sebagai masyarakat untuk menjaga dan merawat sesama.
Sementara Seli Hadianto kini menghadapi hukuman berat atas tindakannya, pertanyaan lebih besar tentang bagaimana konflik semacam ini bisa dicegah di masa depan tetap menggantung di udara.
Tragedi ini, pada akhirnya, adalah cerita tentang manusia, alam, dan batas-batas yang terkadang terlalu mudah untuk dilanggar.***






