SAMPANG, MaduraPost – Program Universal Health Coverage (UHC) di Kabupaten Sampang kembali menjadi sorotan setelah seorang warga miskin asal Desa Tobai Barat, Kecamatan Sokobanah, meninggal dunia tanpa sempat mendapatkan perlindungan kesehatan secara penuh.
Mohammat Dahri, warga yang bersangkutan, harus menanggung sendiri biaya pengobatan sebesar Rp1.622.694 di RSD Ketapang. Hal ini terjadi karena pengajuan UHC miliknya belum disetujui oleh BPJS saat ia menjalani perawatan.
Ia datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada Selasa malam (3/6/2025) sekitar pukul 20.00 WIB, di luar jam operasional layanan verifikasi BPJS yang hanya aktif hingga pukul 16.00 WIB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah sempat mendapatkan penanganan awal, Mohammat Dahri dirujuk ke RSUD dr. Mohammad Zyn, tempat ia akhirnya memperoleh layanan gratis setelah UHC-nya disetujui keesokan harinya. Sayangnya, nyawanya tidak tertolong.
Relawan Kesehatan Indonesia (RKI) DPC Sampang menilai peristiwa ini mencerminkan lemahnya sistem pelaksanaan UHC di lapangan. Rofi, salah satu relawan RKI, menyebut bahwa program UHC seharusnya hadir sebagai jaminan utama bagi masyarakat miskin, terlebih dalam kondisi darurat.
“Ini bentuk kegagalan sistem. Pemerintah Kabupaten Sampang seharusnya memastikan bahwa program UHC benar-benar berpihak pada rakyat kecil, terutama saat kondisi darurat,” ujar Rofi.
Ia juga mengkritik terbatasnya pelayanan verifikasi BPJS yang hanya tersedia pada jam kerja.
“Apa gunanya program jika rakyat miskin tetap harus membayar ketika nyawa sudah di ujung tanduk. Kapan darurat itu datang sesuai jam kerja?” tambahnya.
Keluarga almarhum turut menyampaikan kekecewaan. Syamsul, kerabat korban, berharap biaya yang telah dibayarkan bisa dikembalikan untuk membantu kebutuhan keluarga.
“Kalau bisa dikembalikan biaya yang di RSD Ketapang. Soalnya Mohammat Dahri ini orang tidak mampu, siapa tahu bisa buat tambahan biaya tahlilan,” ungkapnya.
Pihak RSD Ketapang melalui Humas, dr. Syafril Alfian Akbar, menjelaskan bahwa pihak rumah sakit tidak dapat memproses pengajuan UHC karena pasien masuk di luar jam operasional BPJS.
“Pasien datang jam 20.00, sementara layanan BPJS tutup jam 16.00,” terangnya.
Namun, pernyataan tersebut justru dikritik oleh Rofi yang menilai alasan itu menunjukkan lemahnya koordinasi sistem kesehatan.
“Masyarakat tidak peduli jam kerja BPJS. Mereka butuh jaminan ketika darurat. Ini bukan soal administrasi, ini soal keselamatan warga miskin,” tegasnya.
Peristiwa ini menjadi catatan penting bagi Pemerintah Kabupaten Sampang dalam memperbaiki sistem layanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat kurang mampu. Harapan besar disampaikan agar kejadian serupa tidak kembali terulang dan kebijakan pelayanan bisa lebih manusiawi di masa mendatang.
Penulis : Imron Muslim
Editor : Nurus Solehen
Sumber Berita : MaduraPost.net