SURABAYA, MaduraPost – Dalam momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia, sejumlah organisasi masyarakat sipil menyerukan pembenahan tata kelola lingkungan hidup di Jawa Timur. WALHI Jawa Timur bersama LBH Surabaya, Amnesty Chapter UNAIR, BEM FIB UNAIR, AJI Surabaya, Gusdurian Surabaya, dan beberapa organisasi lainnya menilai kondisi lingkungan hidup di Jawa Timur semakin mengkhawatirkan.
Meski mencatatkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tertinggi di Pulau Jawa, WALHI menilai realita di lapangan justru menunjukkan krisis ekologis yang mendalam dan bersifat struktural.
Krisis Air Bersih dan Deforestasi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu persoalan utama yang disorot adalah krisis air bersih. Berdasarkan data tahun 2022, ketersediaan air di Jawa Timur hanya mencukupi kebutuhan sekitar 15,6 juta jiwa. Padahal, jumlah penduduk pada 2024 telah melebihi 40 juta jiwa. Ini berarti sekitar 25 juta warga hidup dalam kondisi defisit air bersih.
Selain itu, tutupan hutan terus menurun akibat deforestasi. Data Global Forest Watch dan BPS mencatat setidaknya 227 hektare hutan hilang pada tahun 2024, melepaskan sekitar 166 ribu ton emisi CO₂. Deforestasi dinilai memperparah krisis iklim dan mengancam keanekaragaman hayati.
Bencana Iklim dan Pencemaran
Sepanjang 2023 hingga 2024, Jawa Timur mengalami peningkatan siklus bencana. Banjir besar melanda 13 kabupaten/kota, merusak lebih dari 15.800 hektare lahan pertanian dan menyebabkan gagal panen di 1.331 hektare. Sebanyak 27 kabupaten/kota juga mengalami kekeringan ekstrem dan sebagian menetapkan status darurat.
WALHI juga mencatat tingginya kasus pencemaran lingkungan. Di Mojokerto dan Pasuruan, sedikitnya lima kasus pencemaran sungai oleh industri ditemukan. Lembaga Ecoton turut mengungkap bahwa sedikitnya sepuluh industri di sepanjang Sungai Brantas membuang limbah tanpa pengolahan. Di sektor pertambangan, pelanggaran ditemukan di Magetan, Ponorogo, Mojokerto, Pasuruan, Jember, dan Banyuwangi—bahkan ada yang beroperasi tanpa izin atau melanggar tata ruang.
Di Gresik dan Bojonegoro, warga juga melaporkan pencemaran udara yang menyebabkan gangguan kesehatan dan aktivitas ekonomi terganggu akibat polusi dari pabrik-pabrik dekat permukiman.
Transisi Energi yang Tidak Berkeadilan
WALHI menyoroti proyek transisi energi yang dinilai justru berpihak pada industri. Program co-firing PLTU dengan biomassa dan proyek RDF serta PLTSa dianggap sebagai solusi palsu yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Proyek PLTS di Sumenep juga disorot karena mengancam sumber mata air dan merampas 110 hektare lahan warga. Sementara proyek geothermal di kawasan pegunungan seperti Lawu, Wilis, Arjuno, Welirang, Semeru, Argopuro, Raung, dan Ijen dinilai berpotensi memicu bencana ekologis baru.
Tuntutan WALHI dan Aliansi Sipil
Menanggapi kondisi tersebut, WALHI Jawa Timur mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk segera mengambil langkah-langkah konkret, antara lain:
- Merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar tidak melegitimasi perusakan lingkungan.
- Menghentikan pemberian izin baru bagi industri dan tambang di wilayah rawan dan dekat permukiman.
- Membatalkan proyek transisi energi yang tidak adil dan menggantinya dengan skema yang berbasis komunitas dan berkeadilan ekologis.
- Memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan.
- Membuka ruang partisipasi publik secara bermakna dalam setiap kebijakan lingkungan.
“Hari Lingkungan Hidup harus menjadi pengingat bahwa bumi dan rakyat tidak bisa terus dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak. Jangan tertipu oleh indeks. Lihatlah kenyataan di lapangan,” ujar perwakilan WALHI Jatim.
Mereka menegaskan bahwa Jawa Timur membutuhkan keberanian politik untuk memilih jalan keberlanjutan yang berpihak pada rakyat dan alam.
Penulis : Imron Muslim
Editor : Nurus Solehen
Sumber Berita : MaduraPost.net