SUMENEP, MaduraPost – Sampah. Kata ini seolah menjadi momok bagi masyarakat luas. Sampah juga identik dengan persoalan besar bagi mayoritas masyarakat di seluruh dunia tak terkecuali Indonesia.
Karena sampah, kerusakan habitat alam dan lingkungan tak dapat terbendung. Juga ditengarai gegara sampah yang menumpuk dan tak sanggup diurai membuat pemerintah sangat disiplin menghimbau untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI mencatat, pada tahun 2020 lalu jumlah tumpukan sampah di Negeri ini ditaksir mencapai 67,8 juta ton, dan akan terus bertambah seiring pertumbuhan jumlah penduduk.
Berdasarkan data KLHK, saat ini sudah ada 21 Provinsi dan 353 Kabupaten/Kota yang telah menetapkan dokumen Kebijakan dan Strategi Daerah (JAKSTRADA) dalam pengelolaan sampah sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017, dengan target pengelolaan sampah 100 persen pada tahun 2025.
Dari persoalan rumit inilah, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura, Jawa Timur, melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat bertekad untuk mengurai persoalan sampah yang kian menimbun dibeberapa sudut perkotaan seiring dengan bertambahnya populasi penduduk.
Langkah awal yang dijalankan adalah menyediakan lahan untuk tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. TPA sendiri sudah diresmikan oleh Bupati Sumenep, Busyro Karim pada tahun 2015 silam.
Dilanjutkan pada tahun 2019, DLH Sumenep juga mencoba memanfaatkan keberadaan strategis lokasi TPA yang terletak di areal bukit Dusun Tononggul, Desa Torbang, Kecamatan Batuan itu menjadi ekowisata.
“Dengan luas lahan kurang lebih sekitar 8 hektare itu masih ada beberapa lahan kosong yang tidak digunakan. Nah, di sinilah konsep tentang destinasi wisata yang arahnya adalah untuk edukasi,” kata Plt. DLH Sumenep, Ernawan Utomo, pada sejumlah media, Jumat (12/2).
Namun, siapa yang peduli ?
Menurutnya, dengan keberadaan destinasi wisata, masyarakat dimungkinkan tidak akan memandang tak sedap soal tumpukan sampah yang belum terurai. Sebab, panorama alam yang menyatu dengan keindahan lautan luas juga dapat disaksikan secara gratis.
“Bahkan di sana kan sudah dibangun flying fox, beberapa gasebo dan lain-lain. Iya walaupun sampai detik ini saya melihat memang tidak banyak yang berkunjung tapi ada lah antara 15 sampai 20 orang kalau Sabtu Minggu,” terangnya.
Meski begitu, Ernawan mengaku, jika jalur masuk ke destinasi wisata yang sudah ditanami bibit pohon oleh Polres Sumenep pada tahun 2019 lalu itu masih belum layak. Sebab, banyak dijumpai jalan yang sudah mulai berlubang.
“Bisa disaksikan sendiri kan jalannya di sana sangat kurang layak. Ini masih butuh komunikasi dengan beberapa OPD khususnya Bina Marga untuk diajukan iya minimal perbaikan lah,” ujarnya.
Disamping itu, salah satu pengamat kebijakan publik Surabaya Institute Governance (SIGN) Studies, Iwan Lesmana menerangkan, persoalan sampah hingga saat ini masih menjadi polemik di Indonesia.
Meskipun telah tampak upaya dan usaha dari pemerintah, masih banyak dijumpai keberadaan sampah yang tak sedap dipandang seperti di sekitar selokan dan sungai.
Menurut pria yang akrab disapa Iwan Jabrik ini menerangkan, seharusnya pemerintah mempunyai grand design yang matang sebelum melaksanakan program yang sudah direncanakan.
“Misalnya edukasi kepada seluruh warga yang juga harus dibarengi dengan semacam sanksi. Ini akan lebih optimal saya rasa,” jelas dia.
(Mp/al/)