SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Daerah

Soal Interpelasi, Pemerhati Hukum Pamekasan: Tatib Harus Diangkat ke Level Undang-Undang

Avatar
×

Soal Interpelasi, Pemerhati Hukum Pamekasan: Tatib Harus Diangkat ke Level Undang-Undang

Sebarkan artikel ini

PAMEKASAN, MaduraPost – Salah satu pemerhati hukum di Kabupaten Pamekasan, Hanafi, meminta agar hak interpelasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Bupati terkait penyediaan pemberdayaan kesehatan masyarakat harus tetap dikawal.

Ia menilai jika hak interpeasi tidak hanya dibatasi kepada kewenangan DPRD setempat. Pihak lain seperti rakyatpun juga memiliki hak meskipun hanya interpelasi kecil kecilan

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

“Aturan-aturan di Tata Tertib itu seharusnya diangkat ke level undang-undang, agar interpelasi kesannya tidak main-main,” terangnya.

Memindahkan banyak ketentuan dari tata tertib itu sendiri, kata Hanafi, harus sesuai karena tentunya akan berimpilikasi pada Undang-undang (UU) Susunan dan Kedudukan (Susduk) baru yang akan lebih gemuk dibanding yang lama. Selain itu, pengaturan yang minim dan tidak jelas pada akhirnya juga menjadikan fungsi pengawasan tumpul.

“Anehnya, setiap ada wacana hak interpelasi atau hak angket, publik dijejali dengan perdebatan prosedural yang tidak produktif, misalnya, kalangan masyarakat justru meributkan kehadiran kepala daerahnya ketimbang substansinya yang perlahan isu itupun hilang dengan sendiri tanpa hasil yang jelas,” terangnya.

Baca Juga :  PPKM Darurat, Kapolres Sampang Minta Kesadaran Masyarakat Tetap Taati Prokes

Ia mengungkapkan jika Pansus harus meramu beragam cara agar penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, bisa berjalan efektif. Salah satu caranya, dengan mempersingkat prosedur pengajuan hak. Pemangkasan bertujuan agar penggunaan hak tersebut tidak berlarut-larut sehingga menutup potensi permainan.

“Maka ada satu cara, yakni hak menyatakan pendapat yang penggunaannya memang harus ekstra hati-hati mengingat dampaknya bisa sampai pada proses menyatakan pendapat sebagaimana tertuang di Tata Tertib, yang bisa berlanjut ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Agar tidak disalahgunakan, Hanafi menekankan hak menyatakan pendapat hanya boleh digunakan jika setidaknya salah satu dari dua hak lainnya, hak interpelasi dan angket, sudah ditempuh. Menurutnya, seorang kepala daerah hanya bisa dimakzulkan melalui tata cara, dan mekanisme ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 yang mengatur tentang Larangan Kepala Daerah.

Baca Juga :  Sembako Gratis Dari Dinas Kesehatan Sumenep Ditengah Pandemi Covid-19

Bila panitia angket bentukan DPRD menemukan bukti selama sidang panitia angket berlangsung (fakta persidangan), Bila melakukan perbuatan, tindakan atau kebijakan yang melanggar ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU nomor 23/2014 tentang Pemda (fakta hukum), maka DPRD dapat mengambil keputusan pemberhentian, sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e dan atau huruf f UU 23/2014.

Adapun mekanisme pemberhentian kepala daerah , yang melanggar Pasal 76 ayat (1) dan Pasal 78 ayat (2) huruf c, huruf d, huru(f e dan atau huruf f UU 23/2014, adalah ; Pertama, usul DPRD tentang pemberhentian kepala daerah diputus melalui rapat paripurna. Kedua, rapat paripurna DPRD dapat digelar bila dihadiri paling sedikit 3/4 dari anggota DPR. Usul setiap anggota DPRD akan menjadi hak angket jika dihadiri 3/4 jumlah anggota yang hadir, dan disetujui 2/3 jumlah anggota yang hadir.

Baca Juga :  Reklamasi di Desa Ambat Terindikasi Melanggar Hukum, FARA Akan Lakukan Demontrasi

“Sementara pasal 109 pada intinya menerangkan bahwa dalam hal hasil penyelidikan pansus angket diterima DPRD tidak memerlukan syarat kuorum,” katanya.

Selain itu, Ketiga, yaitu putusan tentang usul pemberhentian dapat diambil bila disetujui paling sedikit 2/3 dari anggota DPRD. Keempat, putusan DPRD disampaikan ke Mahkamah Agung untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD bahwa melanggar ketentuan Pasal 76 UU 23/2014 paling lambat 30 hari setelah permintaan DPRD diterima dan putusannya bersifat final.

Kelima, apabila MA memutus bahwa kepala daerah melanggar ketentuan di atas, maka pimpinan DPRD menyampaikan usul kepada Presiden untuk memberhentikan. Keenam, Selanjutnya Presiden wajib memberhentikan paling lambat 30 hari sejak presiden menerima usul pimpinan DPRD. Dan Ketujuh, mekanisme sesuai ketentuan Pasal 80 UU 23/2014.

“Untuk itu, jika memang mau serius jangan sampai interpelasi itu ditutupi isu lain, namun harus pada substansinya,” terang Hanafi.(Mp/Hasibuddin)

Baca berita lainnya di Google News atau langsung ke halaman Indeks

Konten di bawah ini disajikan oleh advertnative. Redaksi Madura Post tidak terlibat dalam materi konten ini.