Scroll untuk baca artikel
Daerah

Rekonstruksi di PN Sumenep Ungkap ODGJ Justru Menyerang Terdakwa

Avatar
34
×

Rekonstruksi di PN Sumenep Ungkap ODGJ Justru Menyerang Terdakwa

Sebarkan artikel ini
SIDANG. Rekonstruksi peristiwa keributan di resepsi Pulau Sapudi diperagakan di ruang sidang Pengadilan Negeri Sumenep, Rabu (24/12/2025), disaksikan majelis hakim dan para pihak terkait. (Istimewa for MaduraPost)
SIDANG. Rekonstruksi peristiwa keributan di resepsi Pulau Sapudi diperagakan di ruang sidang Pengadilan Negeri Sumenep, Rabu (24/12/2025), disaksikan majelis hakim dan para pihak terkait. (Istimewa for MaduraPost)

SUMENEP, MaduraPost – Pengadilan Negeri Sumenep, Madura, Jawa Timur, kembali menggelar sidang lanjutan perkara keributan yang melibatkan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di sebuah resepsi warga Pulau Sapudi.

Sidang yang berlangsung pada Rabu, 24 Desember 2025 itu menghadirkan pemeriksaan para terdakwa sekaligus rekonstruksi langsung di ruang sidang untuk menelusuri peristiwa secara faktual.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Ketua Majelis Hakim, Jetha Tri Dharmawan, memimpin persidangan dengan sikap tegas. Ia menekankan agar seluruh pihak menyampaikan kejadian apa adanya, sesuai kondisi di lokasi saat insiden berlangsung, tanpa menambah atau mengurangi fakta.

Dalam persidangan tersebut, majelis hakim memberikan kesempatan dilakukan rekonstruksi ulang guna menggali fakta yang tidak sepenuhnya terungkap dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik.

Adegan Rekonstruksi: Terdakwa Dicekik dari Posisi Bawah

Rekonstruksi memperagakan momen krusial saat Musahwan, salah satu terdakwa, terlibat kontak fisik dengan Sahwito, ODGJ yang mengamuk di acara resepsi. Dalam peragaan itu, Musahwan terlihat dipiting hingga akhirnya keduanya terjatuh bersamaan ke tanah.

Posisi tubuh Sahwito berada di bawah dalam keadaan telentang, sementara Musahwan berada di atasnya. Namun dari posisi tersebut, tangan kanan Sahwito justru mencengkeram leher Musahwan dengan kuat.

Musahwan tampak kesulitan bernapas dan tersengal-sengal hingga akhirnya Suud datang untuk melepaskan cekikan tersebut. Setelah cekikan terlepas, Sahwito masih menunjukkan perlawanan.

Dalam rekonstruksi lanjutan, Tolak Edy menjelaskan bahwa saat Sahwito berada dalam posisi tengkurap, ia berulang kali menghantamkan wajahnya ke tumpukan kerikil.

Baca Juga :  Wartawan di Sampang Jadi Korban Penganiayaan

Hal itu terjadi ketika kaki Sahwito diinjak oleh Tolak Edy dan tangannya dilepaskan dari leher Musahwan, sebagai upaya menghentikan amukan.

Peran Para Terdakwa Dinilai Sebatas Menahan

Majelis hakim mencatat bahwa peran Tolak Edy hanya sebatas menahan kaki Sahwito agar tidak kembali menyerang.

Sementara Suud digambarkan memegang tangan Musahwan agar tidak terjadi benturan lanjutan. Tidak ditemukan adegan pemukulan dalam rekonstruksi yang melibatkan keduanya.

Beberapa saat kemudian, Tolak Edy mengambil seutas tali yang dilemparkan oleh seseorang di lokasi. Tali tersebut diserahkan kepada H. Musahwi, yang kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan digunakan untuk mengikat Sahwito.

Tak lama berselang, Snawi, yang disebut sebagai suruhan istri Sahwito, datang ke lokasi. Ia kemudian mengikat ulang tangan dan kaki Sahwito.

Setelah kondisinya terkendali, Sahwito digotong ke atas mobil pikap oleh Snawi dan Bukhari, yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya.

Kesaksian Asip: Lebih Dulu Dipukul ODGJ

Dalam pemeriksaan terdakwa, Asip menyampaikan bahwa dirinya justru menjadi korban pemukulan lebih dahulu. Ia mengaku dipukul Sahwito saat berusaha menenangkan situasi.

Asip menyatakan sempat menangkis serangan tersebut. Namun Sahwito kemudian memukul Abdul Salam, sebelum kembali menyerang dirinya. Asip memilih menghindar, tetapi terjatuh dan mengalami sejumlah luka.

Baca Juga :  Terkesan Asal Jadi, Proyek Rehab Ruang Kelas SMP 1 Palengaan Tidak Ada Pengawasan Disdik

Ia mengaku sempat mendatangi Puskesmas Nonggunong untuk melakukan visum. Namun hasil visum tidak mencatat adanya luka.

“Padahal saya mengalami luka-luka di bagian lengan akibat terjatuh karena dikejar oleh Sahwito. Banyak warga yang melihat luka itu karena saya diberi obat merah,” ujar Asip di hadapan majelis hakim.

Luka di Pelipis Sahwito Tak Terjelaskan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hanis Aristya Hermawan bersama majelis hakim kemudian mempertanyakan asal luka di bagian pelipis mata Sahwito. Namun Asip dan tiga terdakwa lainnya menyatakan tidak mengetahui sumber luka tersebut.

Majelis hakim juga menyoroti ketidaksesuaian keterangan terdakwa dengan isi BAP. Keempat terdakwa Asip, Musahwan, Tolak Edy, dan Suud menyatakan tidak memahami isi BAP karena hanya diminta menandatangani dan membubuhkan paraf oleh penyidik dan penasihat hukum.

Persidangan ini menarik perhatian karena rekonstruksi justru menggambarkan posisi para terdakwa sebagai pihak yang diserang, bukan sebagai pelaku pengeroyokan sebagaimana tercantum dalam BAP.

Kuasa Hukum: Pasal 170 Tidak Tepat

Kuasa hukum keempat terdakwa, Marlaf Sucipto, menilai penerapan Pasal 170 juncto Pasal 351 juncto Pasal 55 KUHP terhadap kliennya keliru dan mengandung cacat konstruksi hukum.

Menurutnya, fakta persidangan secara terang menunjukkan bahwa kekerasan pertama justru dilakukan oleh Sahwito.

Baca Juga :  Sekda Akan Panggil Kepala Satpol PP Sumenep yang Diduga Alergi Wartawan

“Yang memulai kekerasan itu jelas Sahwito. Ia memukul Pak Salam, Asip, dan Musahwan. Klien kami berada dalam posisi bertahan dan melindungi diri, bukan melakukan pengeroyokan,” tegas Marlaf.

BAP Dinilai Gugur di Persidangan

Marlaf menilai Berita Acara Pemeriksaan telah kehilangan kekuatan pembuktian di ruang sidang. Ia menyoroti keterangan Abdul Salam, yang mengaku tidak bisa membaca, namun dalam BAP justru terdapat kronologi detail mengenai peristiwa “saling pukul”.

“Ini kontradiksi serius. Di persidangan, tidak satu pun saksi yang secara tegas dan konsisten menjelaskan adanya saling pukul. Fakta ini mematahkan BAP itu sendiri,” kata Marlaf.

Negara Dinilai Lalai Tangani ODGJ

Selain aspek pidana, Marlaf juga menyinggung persoalan kemanusiaan dan tanggung jawab negara. Ia menyebut Sahwito telah lama meresahkan warga Desa Rosong dan Desa Talaga di Pulau Sapudi, namun tidak pernah mendapat penanganan medis yang memadai.

“ODGJ ini dibiarkan berkeliaran bebas, mengganggu anak-anak dan orang dewasa. Padahal polisi mengetahui kondisi kejiwaan Sahwito sejak awal perkara ini. Pertanyaannya, mengapa aparat tidak menindaklanjuti surat keterangan dokter ahli jiwa dari RSUD Sumenep?,” ujarnya.

Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa perkara ini bukan sekadar soal kesalahan terdakwa, melainkan juga menyangkut keadilan prosedural, perlindungan warga sipil, serta tanggung jawab negara dalam menangani ODGJ agar tidak kembali menimbulkan korban.***