SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Opini

Persepsi Orang Madura Terhadap Pendidikan

Avatar
×

Persepsi Orang Madura Terhadap Pendidikan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Google

OPINI, MaduraPost – Terlahir dari keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi, membuat saya terbiasa mendengar ejekan atau cemoohan saat berusaha menggapai mimpi seperti anak yang lainnya.
“Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi, bisa makan saja itu sudah bagus”
Paradigma yang dibangun di sekitar juga seringkali menjatuhkan mental anak-anak seperti saya untuk tidak terlalu bermimpi tinggi. Narasi-narasi yang mentuhankan uang adalah segalanya dalam mencapai mimpi, juga begitu masif disebarkan hingga menjadi sebuah kebenaran umum,
“Mau jadi pejabat RT saja harus punya uang, kalau tidak punya uang, sudah tidak usah bermimpi mau jadi orang besar” apalagi bermimpi menjadi politisi Pemegang Policy (kebijakan).

Kebenaran umum yang tercipta itu, Cukup PowerFull sehingga sangat melekat pada memori Memori orang orang yg punya keterbatasan ekonomi. tanpa sadar terinternalisasi dalam alam bawah sadar anak-anak dari keluarga yang tidak mampu seperti saya, hingga akhirnya membuat kita terlalu takut untuk sekedar bermimpi apalagi melangkah menggapai Asa.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Baca Juga :  3 Tahun Kepemimpinan, Kerja Ikhlas atau Kerja Terbatas ?

“Buat apa sekolah yang tinggi? Percuma,tidak akan ada gunanya kalau tidak punya uang juga tidak akan bisa jadi apa apa.”

Narasi-narasi menjatuhkan, Pembunuhan karakter semakin berkembang, dan seakan akan terstruktur dalam dimensi sosial, merampas dan menguburkan mimpi dr setiap individu untuk sekedar mendapatkan pendidikan yang layak.

Jika pendidikan itu hanya hak anak-anak orang kaya, maka akan selamanya anak-anak dari keluarga miskin meneruskan tradisi orang tua nya, karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk merubah nasib.

Bukankah sudah pasti sebagaimana firman Allah, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang merubahnya.

Berbekal keyakinan itu, saya terus berusaha membuktikan bahwa hak pendidikan, hak bermimpi, hak mewujudkan cita-cita termasuk hak bahagia itu menjadi hak melekat yang dimiliki individu, bukan ditentukan oleh lingkungan dan seberapa banyak materi yang mereka punya.

Tentu, apa yang saya yakini ini bertengan dengan kebenaran umum yang tercipta. Saat kita bertentangan dengan kebenaran umum, bukan hanya saja kita yang dianggap “gila”, tapi dimusuhi, dijauhi dan diremehkan juga menjadi hal yang pasti.

Baca Juga :  Tarik Ulur Penanggulangan Banjir di Sampang

Sampai detik ini, saya Masih meyakini dan terus berjuang dan membuktikan bahwa uang bukan lah segala-galanya dalam penentu kesuksesan dan menggapai impian, Saya meyakinkan siapapun yang ingin mengenyam pendidikan tinggi, yg ingin hidupnya berarti, punya harga diri untuk tidak menyerah karena uang.

Bersyukur, bukan hanya saya yang memperjuangkan itu. Masih banyak orang baik yang memiliki hati nurani dan logika, sefaham dengan saya, dan ikut memperjuangkan kebenaran dan kebaikan yang kita yakini. Meskipun dalam perjalannanya, tidak sedikit yang melepas diri dan kembali “menghamba” pada kekuasaan dan uang.

Banyak orang kaya, tapi tak berpendidikan, banyak orang kaya tapi juga tak menjadikan mereka duduk di kursi yang mereka inginkan, banyak orang kaya tapi tidak bisa membeli hati dan kebahagiaan. Banyak juga orang kaya dan sukses, tapi tidak memiliki manfaat bagi banyak orang.

Baca Juga :  Pendistribusian yang Praktis: Solusi Dilema Guru Tolong

Pada akhirnya, bukan uang segala-galanya, dan segala-galanya tidak selalu membutuhkan uang. tapi integritas dan komitmenlah yg menjadi penentu utama bagaimana seseorang bisa melewati setiap pertarungan untuk mewujudkan “Kemenangan”. Sehingga, jangan pernah takut untuk selalu berpegang pada kebaikan yang kita yakini, jangan pernah takut tidak punya teman karena memilih jalan yg berbeda dengan mereka, jangan pernah Takut miskin karena tidak berteman dg kekuasaan dan orang kaya karena allah maha kaya, bukan pada kebenaran umum yang diciptakan masyarakat.

Berhenti menghamba pada kekuasaan dan uang, sebelum kita benar-benar diperbudak oleh mereka.

Soal kesuksesan itu tergantung bagaimana kita memaknainya. Karena jika tolok ukur sukses kita hanya dari kebenaran umum yang tercipta, maka bersiaplah saat kita sukses akan diperbudak oleh lingkungan dan stigma. (Sahmawi, S. Psi., M.Sos)

Penulis : Zainal Abidin
Prodi : Manajemen (Universitas  PGRI Kanjuruhan Malang)

Baca berita lainnya di Google News atau langsung ke halaman Indeks

Konten di bawah ini disajikan oleh advertnative. Redaksi Madura Post tidak terlibat dalam materi konten ini.