Scroll untuk baca artikel
Seni dan Budaya

Pasar Tanpa Nama di Bayang Menara Jamik

Avatar
22
×

Pasar Tanpa Nama di Bayang Menara Jamik

Sebarkan artikel ini
RIUH. Suasana pasar tradisional tanpa nama di belakang Masjid Jamik Sumenep, penuh warna dan kehidupan di pagi hari. (M.Hendra.E/MaduraPost)
RIUH. Suasana pasar tradisional tanpa nama di belakang Masjid Jamik Sumenep, penuh warna dan kehidupan di pagi hari. (M.Hendra.E/MaduraPost)

FEATURES, MaduraPost – Fajar baru saja menyapu langit Sumenep ketika denyut kehidupan mulai berdetak di lorong sempit di belakang Masjid Jamik.

Pasar ini tak punya nama resmi, namun setiap orang di Kelurahan Bangselok tahu ke mana harus melangkah jika ingin merasakan riuh yang hangat dan aroma khas pagi hari.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Dari sudut masjid yang megah, suara adzan subuh perlahan berganti dengan lantunan sapaan para pedagang.

Tangan-tangan cekatan menata sayur, menakar beras, mengikat daun bawang. Aroma bumbu dapur bercampur gurih santan, dan wangi kue basah menggoda penciuman siapa pun yang lewat.

Di tepi jalan, sebuah gerobak sederhana menjadi pusat perhatian. Penjualnya tersenyum ramah, mengaduk panci besar, memastikan setiap mangkuk yang keluar hangat dan penuh rasa.

Baca Juga :  Melalui Festival Rokat Tase’, Desa Bira Tengah Sampang Perkenalkan Kearifan Lokal dan Souvenir Khas

Lorong pasar ini sempit, namun langkah orang-orang yang melintasinya tak pernah melambat. Ibu-ibu berkerudung warna-warni menenteng kantong belanja, sebagian berhenti sejenak untuk menyapa tetangga.

Sesekali, pedagang menawarkan barang dagangannya dengan suara lirih namun penuh keyakinan. Di sela keramaian, motor-motor merayap pelan, berusaha mencari celah di antara kaki-kaki yang hilir mudik.

Bangunan di sekitar pasar berdiri rapat, dengan cat yang mulai pudar. Papan nama toko sederhana tergantung miring, menawarkan segala kebutuhan harian: mulai dari sayuran segar, ikan laut, hingga bumbu tradisional.

Sinar matahari pagi menembus celah atap, menciptakan semburat cahaya yang menimpa wajah-wajah para pedagang membuat kelelahan mereka seolah tersamarkan oleh semangat.

Pasar tanpa nama ini bukan sekadar tempat jual beli. Ia adalah ruang sosial yang merawat kebersamaan warga. Di sini, kabar terbaru tentang keluarga, harga kebutuhan pokok, bahkan cerita lucu dari kejadian kemarin dibagi tanpa sekat. Setiap tawa dan sapaan menjadi benang yang merajut keakraban.

Baca Juga :  Pekan Seni Madura ke-9 Siap Digelar, Sajikan Ragam Pertunjukan dan Budaya Lokal

Tak jauh dari kerumunan, seorang kakek duduk di atas becaknya. Catnya terkelupas, bannya sedikit kempes, namun tatapannya penuh harap.

Becak itu telah membawanya melewati perubahan zaman, dari jalanan yang lengang hingga riuhnya lalu lintas hari ini. Ia menunggu, mungkin penumpang, mungkin sekadar obrolan hangat dengan teman lama.

Di atas kepala, bendera merah putih berkibar pelan, diapit oleh kabel listrik yang bersilang. Sebuah pengingat bahwa pasar ini, sekecil dan sesederhana apa pun, adalah bagian dari denyut kebangsaan.

Baca Juga :  Pemdes Karang Penang Onjur Dapat Pelatihan Olahan Jagung dari DPMD Provinsi Jatim

Ia berdiri tepat di bawah bayang menara Masjid Jamik, seakan menyatu dalam harmoni antara aktivitas dunia dan nilai spiritual.

Menjelang siang, keramaian mulai mereda. Pedagang berkemas, pembeli pulang, dan lorong kembali lengang. Namun, jejak aroma, suara, dan tatapan hangat pagi ini akan tertinggal di ingatan sebuah potret kecil dari kehidupan kota yang tak akan digantikan oleh pusat perbelanjaan modern mana pun.

Pasar tanpa nama di belakang Masjid Jamik ini mungkin tak tercatat di peta, tapi ia hidup di hati warganya. Ia adalah cermin kehidupan yang paling jujur, di mana setiap hari adalah cerita baru, dan setiap wajah adalah bagian dari keluarga besar Bangselok.***