Scroll untuk baca artikel
DaerahOlahraga

Mereka Memanjat di Atas Karat: Cerita dari Dinding Panjat Tebing yang Terlupakan di Sampang

Avatar
33
×

Mereka Memanjat di Atas Karat: Cerita dari Dinding Panjat Tebing yang Terlupakan di Sampang

Sebarkan artikel ini
Atlet panjat tebing kabupaten sampang saat melakukan latihan di sarana yang memprihatinkan (foto: Imron Muslim/MaduraPost).

SAMPANG, MaduraPost– Malam itu, suara gesekan sepatu karet bertemu dengan permukaan papan panjat yang mulai aus terdengar pelan dari salah satu sudut lapangan di Kabupaten Sampang. Di balik dinding buatan setinggi lebih dari 10 meter itu, berdiri sekelompok remaja dengan tubuh ramping dan otot yang terlatih. Di wajah mereka ada semangat, tapi juga kecemasan.

Mereka adalah atlet panjat tebing Sampang, yang setiap hari harus memilih antara mimpi meraih medali dan risiko luka akibat fasilitas yang mulai keropos dimakan karat.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Besi-besi penyangga pada sarana panjat itu sudah menghitam kecokelatan. Beberapa bahkan mulai mengelupas. Tali-tali pengaman tampak usang.

“Sudah lama tidak ada pemeliharaan,” ujar Mahardika Surya Arbianto, Ketua FPTI Sampang, lirih, Kamis (22/05/2025).

Ardi, sapaan akrabnya, bukan hanya khawatir sebagai pengurus. Ia juga mantan atlet yang tahu betul bagaimana rasanya bergelantungan di antara harapan dan bahaya.

Baca Juga :  27 Hewan Kurban Disalurkan Dinsos P3A Sumenep, Berikut Sasaran dan Rinciannya

“Setiap kali mereka naik, saya hanya bisa berdoa tak terjadi sesuatu. Karena kalau besi ini patah atau lepas, yang jadi korban adalah atlet,” katanya.

Janji yang Tak Kunjung Ditepati

Kekhawatiran Ardi bukan tanpa alasan. Hingga saat ini, tak satu pun anggaran pemeliharaan turun untuk fasilitas panjat tebing di Sampang. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Sampang, Marnilem, mengaku sudah mengusulkan anggaran perawatan. Namun, seperti biasa, usulan hanya tinggal di meja.

“Tahun ini belum disetujui,” katanya singkat.

Harapan pun digantung ke tahun berikutnya. Itupun kalau Pendapatan Asli Daerah (PAD) meningkat. Kalau tidak? Para atlet mungkin masih akan memanjat di atas kerangka karat yang tak lagi kokoh.

Isma Ulfah, Kabid Pemuda dan Olahraga, tak menampik keterbatasan. Dari total anggaran Rp260 juta yang ada, hanya Rp30 juta dialokasikan untuk pemeliharaan—dan itu pun bukan untuk dinding panjat. “Paling hanya beli lampu dan sapu,” ujarnya jujur.

Baca Juga :  MH Said Abdullah Respon Penuh Pemerintah Bubarkan BPWS

Jeritan yang Akhirnya Didengar

Keadaan ini akhirnya menyita perhatian publik setelah viral di media lokal. Jeritan Ardi dan kawan-kawan akhirnya terdengar oleh Komisi IV DPRD Sampang. Mahfud, ketuanya, langsung angkat bicara. Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menyebut bahwa dirinya akan segera berkoordinasi dengan dinas terkait untuk mendorong penganggaran melalui PAK.

“Yang dibutuhkan hanya cat anti karat. Tidak besar. Tapi dampaknya luar biasa,” katanya, penuh penekanan.

Mahfud bahkan menyebut kondisi fasilitas olahraga di Sampang memprihatinkan secara umum. Bukan hanya panjat tebing, tapi juga GOR indoor bulu tangkis yang seharusnya bisa menghasilkan retribusi untuk daerah.

“Apa gunanya fasilitas kalau tidak aman dan tidak bisa digunakan dengan nyaman?” tambahnya.

Baca Juga :  Kejari Pamekasan Minta Inspektorat Periksa Dugaan Korupsi Realisasi DD/ADD Desa Ceguk

Di Antara Karat dan Cita-Cita

Di balik semua itu, ada wajah-wajah muda yang tak peduli dengan tarik-ulur anggaran. Yang mereka tahu, mereka ingin menjadi atlet. Mereka ingin membanggakan Sampang. Dan untuk itu, mereka harus terus berlatih, meski di bawah risiko.

Fahri, 17 tahun, salah satu atlet muda FPTI, tersenyum saat ditanya kenapa masih mau latihan.

“Karena saya suka. Dan saya ingin juara,” katanya polos.

Saat ia menggenggam batu pijakan di dinding tebing itu, mungkin ia tak tahu betapa rapuhnya besi di belakangnya. Tapi ia percaya pada pelatihnya. Pada teman-temannya. Dan mungkin, pada pemerintah yang suatu hari akan mendengar.

“Paling tidak, tolong dengarkan kami. Kami hanya ingin tempat yang aman untuk bermimpi,” ucap Ardi, matanya mengarah ke atas dinding yang mulai mengelupas.