Scroll untuk baca artikel
Daerah

Ketika ASN Menjadi Penjaga Warisan, Busana Keraton Sumenep dan Upaya Menghidupkan Kembali Identitas Daerah

Avatar
62
×

Ketika ASN Menjadi Penjaga Warisan, Busana Keraton Sumenep dan Upaya Menghidupkan Kembali Identitas Daerah

Sebarkan artikel ini
NUANSA. Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo dan Wakil Bupati Imam Hasyim mengenakan busana adat Keraton Sumenep dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Sumenep. (Istimewa for MaduraPost)
NUANSA. Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo dan Wakil Bupati Imam Hasyim mengenakan busana adat Keraton Sumenep dalam rangka memperingati Hari Jadi Kabupaten Sumenep. (Istimewa for MaduraPost)

SUMENEP, MaduraPost – Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi budaya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep, Madura, Jawa Timur, memilih jalan yang berbeda, menengok ke masa lalu untuk meneguhkan jati diri masa kini.

Melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025, seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), Non-ASN, hingga pegawai BUMD di lingkungan pemerintah daerah diwajibkan mengenakan Baju Adat Keraton Sumenep lengkap setiap tanggal 30 hingga 31 Oktober setiap tahunnya, bertepatan dengan peringatan Hari Jadi ke-756 Kabupaten Sumenep.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Namun di balik kebijakan itu, tersimpan pesan yang lebih dalam dari sekadar seragam. Ini bukan hanya tentang kain dan hiasan kepala, tetapi tentang usaha menghidupkan kembali kebanggaan terhadap budaya yang pernah menjadi pusat kejayaan di ujung timur Pulau Madura.

“Pemerintah daerah membuat kebijakan berpakaian baju adat Keraton Sumenep sebagai langkah melestarikan adat dan budaya leluhur yang kental dengan sejarah kerajaannya,” ujar Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, Kamis (30/10).

Baca Juga :  Proyek Penahan Tebing di Sana Laok Diprotes Warga

Warisan yang Dihidupkan Kembali

Bagi masyarakat Sumenep, busana keraton bukan hanya pakaian, melainkan simbol kebangsawanan, kehalusan budi, dan tata nilai sosial yang telah hidup ratusan tahun.

Warna, corak, hingga tata cara pemakaiannya sarat makna, mewakili strata sosial, nilai estetika, dan filosofi hidup masyarakat Sumenep yang dikenal religius, santun, dan berbudaya tinggi.

Kini, saat ASN dan pegawai pemerintahan mengenakan busana itu, seolah sejarah kembali berdenyut di ruang publik di kantor pemerintahan, ruang rapat, dan jalanan kota.

“Kami ingin agar Peringatan Hari Jadi ini tidak sekadar rutinitas seremonial, tetapi memiliki makna untuk membangun semangat baru dalam mencintai daerah,” imbuh Bupati Fauzi.

Baca Juga :  BPNT Bermasalah di Sumenep, Bank Mandiri Belum Terima Koordinasi

Simbol Identitas dan Kebanggaan

Kebijakan ini juga berlaku bagi instansi vertikal, BUMN, guru, dosen, hingga pelajar dan mahasiswa di wilayah Kabupaten Sumenep.

Mereka diimbau memakai batik khas Sumenep, sebagai bagian dari penguatan identitas lokal di ruang pendidikan.

Namun ada pengecualian, tenaga medis, petugas keamanan, dan pemadam kebakaran tetap diperbolehkan menggunakan seragam tugas khusus demi kelancaran pelayanan publik.

Lebih dari Sekadar Seragam

Dalam konteks pembangunan daerah, kebijakan berpakaian adat ini juga dibaca sebagai upaya membangun kesadaran kolektif tentang akar sejarah Sumenep.

Kabupaten ini bukan hanya dikenal dengan kekayaan alam dan pariwisatanya, tapi juga sebagai pusat kebudayaan Madura yang berakar kuat pada nilai-nilai kerajaan masa lalu.

Baca Juga :  Akses Jalan Poros Pagantenan – Batumarmar Terkesan Dibiarkan Rusak Oleh Pemerintah

Dengan mewajibkan ASN berpakaian adat, pemerintah seolah ingin mengatakan bahwa modernisasi tidak harus menghapus tradisi.

Justru, tradisi bisa menjadi fondasi moral dan spiritual dalam birokrasi yang semakin rasional dan efisien.

“Pemakaian busana adat Keraton adalah simbol kebanggaan sekaligus penghormatan terhadap jati diri Kabupaten Sumenep,” tegas Bupati Fauzi.

“Semoga semangat itu menular pada seluruh masyarakat untuk terus menjaga dan mencintai warisan leluhur kita,” timpalnya memungkasi.

Kebijakan ini mungkin tampak sederhana, namun di dalamnya tersimpan gagasan besar, bahwa pembangunan tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga soal jiwa dan identitas.

Dan di Sumenep, upaya itu dimulai dari sesuatu yang sangat dekat dengan tubuh, pakaian adat yang kembali hidup di antara langkah ASN di balai-balai pemerintahan.***