SUMENEP, MaduraPost – Jaksa Penuntut Umum (JPU) memastikan bahwa penerapan pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam kasus kematian Neneng telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penegasan ini disampaikan sebagai respons terhadap kritik dari tim kuasa hukum korban serta sejumlah pihak di masyarakat yang menilai dakwaan dalam sidang perdana kurang tepat.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sumenep, Moch. Indra Subrata, bersama Jaksa Penuntut Umum Surya Rizal Hertady menjelaskan hal tersebut dalam wawancara bersama awak media pada Selasa, 18 Februari 2025.
Menurut Indra, penerapan Pasal 44 ayat 2 dan 3 dalam Undang-Undang KDRT sudah sesuai, mengingat hubungan antara pelaku dan korban yang masih berstatus sebagai pasangan suami-istri pada saat kejadian berlangsung.
“Dalam sidang perdana yang digelar Selasa, 11 Februari 2025, pasal KDRT diterapkan karena secara hukum pelaku dan korban masih terikat dalam pernikahan. Oleh sebab itu, aturan yang digunakan adalah lex spesialis, dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara serta denda sebesar Rp 45 juta,” terang Indra Subrata pada wartawan, Selasa (18/2) siang.
Lebih lanjut, Indra menguraikan bahwa penerapan Pasal 44 ayat 2 didasarkan pada bukti bahwa pelaku kerap melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka berat terhadap korban.
Sementara itu, ayat 3 turut disertakan karena kekerasan yang dilakukan berujung pada kematian.
“Tidak ada unsur pembunuhan berencana dalam kasus ini, sehingga pasal 340 KUHP tidak diterapkan. Ini murni kasus KDRT,” tegasnya.
Menanggapi dugaan bahwa ada pihak lain yang turut terlibat, Indra membantah dengan alasan bahwa dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang diterima dari penyidik Polres Sumenep, tidak ditemukan bukti yang mengarah ke keterlibatan orang lain.
“Jika ada keberatan, seharusnya disampaikan sejak tahap penyidikan. Berkas perkara telah dinyatakan lengkap (P21) dan telah ditandatangani oleh semua pihak, termasuk kuasa hukum korban,” ujarnya.
Meskipun demikian, Kejaksaan Negeri Sumenep tetap membuka ruang komunikasi bagi keluarga korban jika ada protes terkait dakwaan yang diajukan.
“Kami akan tetap terbuka dan siap menemui mereka,” kata Indra.
Kuasa Hukum Korban: Ada Indikasi Pembunuhan Berencana
Di sisi lain, kuasa hukum korban menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap dakwaan yang dibacakan dalam sidang perdana.
Menurut mereka, pasal KDRT dianggap terlalu ringan untuk kasus yang memiliki indikasi pembunuhan berencana.
Kamarullah, selaku kuasa hukum keluarga korban, menilai bahwa ada sejumlah fakta dalam BAP yang belum terungkap sepenuhnya.
“Dari dua insiden KDRT yang terjadi, terutama yang terakhir, kami melihat adanya unsur perencanaan dalam tindakan pelaku. Dalam BAP, tidak disebutkan adanya proses penjemputan korban oleh pelaku bersama sejumlah orang lainnya. Padahal, ini adalah hal yang krusial,” ujarnya pada Selasa, 11 Februari 2025.
Kamarullah juga menyoroti bahwa korban awalnya dijanjikan akan dibawa untuk mendapatkan perawatan medis, namun pada kenyataannya tidak ditemukan di fasilitas kesehatan mana pun.
“Korban justru dibawa ke tempat yang diduga bertujuan untuk menekan agar mencabut laporan sebelumnya. Ini mengindikasikan adanya peran pihak lain dalam kasus ini,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan, bahwa hasil pemeriksaan forensik menunjukkan bahwa luka-luka yang dialami korban tidak mungkin disebabkan oleh satu orang saja.
“Kami meyakini ada keterlibatan lebih dari satu pelaku dalam proses penyiksaan hingga kematian korban. Oleh karena itu, seharusnya pasal pembunuhan berencana diterapkan,” tandasnya.***