PAMEKASAN, MaduraPost – Pulau Madura bukan hanya dikenal dengan tradisi dan budaya yang khas, tetapi juga dengan tokoh-tokoh besarnya yang berperan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Salah satunya adalah RKH. Abdul Hamid Bakir atau Kiai Bakir, sosok ulama karismatik dari Pondok Pesantren Banyuanyar yang dikenal luas karena kebijaksanaan, keberanian, serta perjuangannya dalam melawan kolonial penjajah.
Bahkan, Presiden Soekarno menjulukinya sebagai “Macan dari Madura.” Sebab Kiai Bakir bukan hanya seorang ulama biasa. Ia adalah figur yang dihormati oleh berbagai kalangan, mulai dari santri, petani, pejabat, seniman, hingga golongan berbeda agama.
Meskipun memiliki kekayaan dan fasilitas mewah—seperti mobil mahal dan pakaian elegan—ia tetap hidup sederhana, santai, dan selalu merakyat.
Kebiasaannya merokok dan menikmati kopi bersama siapa saja menunjukkan bahwa ia tidak berjarak dengan masyarakat.
Lebih dari itu, beliau adalah seorang pemimpin yang visioner, seorang Islamis sekaligus nasionalis yang mampu merangkul semua pihak. Tak heran, pengaruhnya begitu besar, tidak hanya di Madura tetapi juga di kancah nasional.
Sejarah mencatat, Kiai Bakir berada di garis depan perjuangan rakyat Madura dalam melawan kolonialisme.
Dengan semangat jihad, ia menggerakkan santri dan masyarakat untuk menentang penjajahan, baik melalui perlawanan fisik maupun strategi diplomasi yang cerdas.
Atas keberaniannya, Bung Karno menghadiahkan dua burung Garuda raksasa yang hingga kini masih terpasang di gerbang Pondok Pesantren Banyuanyar.
Simbol tersebut menjadi bukti nyata bagaimana peran Kiai Bakir dalam perjuangan kemerdekaan diakui oleh pemimpin tertinggi negeri ini.
Meski jasanya begitu besar, hingga kini nama Kiai Bakir belum tercatat secara resmi sebagai Pahlawan Nasional.
Konon, beliau sendiri menolak dinobatkan sebagai pahlawan karena sifatnya yang rendah hati. Ia tidak ingin dikultuskan dan lebih memilih tetap menjadi pelayan umat.
Namun, di tengah era yang penuh dengan distorsi sejarah dan krisis keteladanan, sudah saatnya santri, alumni, serta masyarakat Madura memperjuangkan gelar pahlawan bagi Kiai Bakir.
Bukan sekadar untuk penghargaan, tetapi untuk kepentingan sejarah dan warisan bangsa. Jika bukan para santrinya yang memperjuangkan, siapa lagi?***