SUMENEP, MaduraPost – Aliansi KOPRI Komisariat PMII Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, mengeluarkan pernyataan tegas mengenai krisis pendidikan di wilayah tersebut, terutama terkait dengan maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan sekolah.
Dalam siaran pers yang dirilis hari ini, Aliansi ini menekankan bahwa pendidikan merupakan pilar utama pembangunan bangsa dan hak dasar setiap warga negara.
Namun, masalah serius seperti pelecehan seksual di sekolah menunjukkan adanya darurat moral dalam sistem pendidikan Sumenep.
Dalam beberapa bulan terakhir, laporan tentang kasus pelecehan seksual yang melibatkan siswa dan guru di Kabupaten Sumenep mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan.
Kasus-kasus ini mencakup pelecehan verbal, fisik, dan kekerasan seksual yang melibatkan korban dari berbagai usia dan latar belakang. Beberapa kasus yang dilaporkan meliputi:
1. Pencabulan oleh seorang guru di SD Kebonangung, yang masih menunggu keputusan.
2. Kasus perselingkuhan oknum guru di desa Rubaru, yang saat ini masih dalam koordinasi ke P3A dan telah dipindah tugaskan.
3. Perselingkuhan oknum kepala sekolah di desa Pinggir Papas yang sudah dinonaktifkan.
4. Ibu kandung berstatus guru menjual anaknya kepada selingkuhan yang berstatus kepala sekolah di Kalianget.
5. Kasus guru SD Pajagalan 1 dengan motif perselingkuhan yang belum teratasi.
Aliansi KOPRI Komisariat PMII menegaskan, bahwa penanganan kasus pelecehan seksual harus dilakukan secara cepat dan tidak bertele-tele.
Mereka juga menyoroti ketidakseriusan dan ketidaktegasan dalam penegakan hukum terhadap pelaku, yang dinilai tidak memberikan efek jera.
“Kurangnya edukasi seksual, ketidakpedulian institusi terhadap laporan korban, dan minimnya sanksi bagi pelaku adalah penyebab utama meningkatnya kasus pelecehan seksual. Kami mendesak pihak berwenang, termasuk Kapolres Kabupaten Sumenep, untuk segera menangani kasus ini dengan sigap,” ujar Korlap Aliansi KOPRI Komisariat PMII Sumenep, Khuzaimah, pada MaduraPost, Kamis (12/9).
Mereka juga menuntut kepatuhan terhadap Perda KLA Nomor 4 Tahun 2022 dan Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang lembaga layanan di Sumenep, memastikan bahwa hak-hak anak dan korban terjamin.
“Kami meminta agar proses penyidikan dilakukan secara transparan dan memastikan bahwa korban mendapatkan kuasa hukum yang layak,” tegas Khuzaimah.
Aliansi KOPRI Komisariat PMII berharap tindakan tegas dan progresif dari pihak terkait dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung proses belajar yang berkualitas.
Sementara itu, Wakapolres Sumenep Kompol Trie Sis Biantoro, menegaskan komitmen Polres untuk menangani kasus ini dengan serius dan memastikan bahwa seluruh prosedur hukum diikuti dengan ketat.
Dia juga menyatakan pentingnya koordinasi antara berbagai pihak terkait untuk menangani kasus pelecehan seksual secara efektif dan memastikan keadilan bagi korban.
“Surat penetapan tersangka telah diserahkan kepada keluarga tersangka. Kami memastikan bahwa proses hukum dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku,” kata Wakapolres Biantoro.
Kemudian, salinan surat penetapan tersangka akan tersedia setelah adanya ketuk palu dari Kejaksaan Negeri Sumenep.
Proses ini membutuhkan waktu untuk memastikan semua langkah hukum dijalankan dengan benar.
“Kami di Polres Sumenep berkomitmen untuk transparan dalam memberikan informasi terkait penyidikan kasus ini. Kami terus menyediakan update yang relevan dan terbuka untuk publik,” jelas Wakapolres Biantoro.
Pihaknya juga mengklaim, bahwa Polres Sumenep aktif melakukan sosialisasi tentang kekerasan seksual kepada masyarakat.
“Kami terlibat sebagai narasumber dalam berbagai agenda yang melibatkan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai isu ini,” kata dia.
Sementara Dinas Pendidikan Sumenep harus menunggu ketuk palu dari Kejaksaan Negeri untuk mendapatkan salinan surat penetapan tersangka.
“Alternatifnya, Dinas Pendidikan dapat meminta salinan surat penetapan dari Polres dengan izin dari keluarga tersangka,” pungkasnya.***