Scroll untuk baca artikel
Opini

Wajah! Menjaga Marwah Jurnalistik di Tengah Menjamurnya Wartawan Jadi-Jadian

Avatar
87
×

Wajah! Menjaga Marwah Jurnalistik di Tengah Menjamurnya Wartawan Jadi-Jadian

Sebarkan artikel ini
PROFIL. Miftahol Hendra Efendi, junalis MaduraPost, Biro Sumenep. (Foto By AI Gemini/Redaksi MaduraPost)
PROFIL. Miftahol Hendra Efendi, junalis MaduraPost, Biro Sumenep. (Foto By AI Gemini/Redaksi MaduraPost)

OPINI, MaduraPost – Sebagai seorang jurnalis lepas yang tumbuh dan bekerja di daerah, saya merasakan secara langsung dinamika dunia jurnalistik yang terus berubah, termasuk di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Di tengah arus modernisasi dan kemajuan teknologi informasi, profesi wartawan kini semakin mudah diakses oleh siapa saja.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Kemudahan ini di satu sisi patut disyukuri, karena membuka ruang partisipasi publik dalam menyampaikan informasi.

Namun di sisi lain, kondisi tersebut juga melahirkan fenomena wartawan jadi-jadian yang tumbuh subur tanpa dibarengi pemahaman yang utuh tentang esensi dan tanggung jawab jurnalistik.

Tidak sedikit dari mereka yang menyandang identitas wartawan, tetapi enggan atau bahkan tidak pernah berupaya mengenal apa itu profesionalisme jurnalistik.

Baca Juga :  Eksistensi Bahasa Arab di Era Digital

Padahal, profesi ini tidak hanya berkaitan dengan kemampuan menulis atau keberanian bertanya, melainkan juga menyangkut etika, akurasi, keberimbangan, serta komitmen terhadap kebenaran.

Jurnalisme sejatinya adalah kerja intelektual dan moral, bukan sekadar aktivitas teknis yang bisa dijalankan tanpa landasan nilai.

Sebagai jurnalis lepas, saya memahami bahwa tekanan ekonomi, keterbatasan akses, dan minimnya pembinaan sering kali menjadi alasan mengapa praktik jurnalistik berjalan tidak ideal.

Namun, keterbatasan tersebut semestinya tidak dijadikan pembenaran untuk mengabaikan etika profesi.

Ketika profesi wartawan dipahami hanya sebagai jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan pribadi, kedekatan dengan kekuasaan, atau legitimasi sosial, maka pada saat itulah jurnalisme kehilangan ruhnya.

Baca Juga :  Kecelakaan Truk vs Motor di Bangkalan, Tiga Orang Meregang Nyawa

Fenomena wartawan jadi-jadian ini bukan hanya berdampak pada citra pers, tetapi juga berimplikasi luas terhadap kepercayaan publik.

Masyarakat menjadi sulit membedakan mana produk jurnalistik yang lahir dari proses kerja yang bertanggung jawab, dan mana yang sekadar opini atau bahkan kepentingan terselubung.

Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin pers justru menjadi bagian dari persoalan, alih-alih solusi dalam kehidupan demokrasi lokal.

Saya menulis refleksi ini bukan untuk menghakimi, melainkan sebagai ajakan untuk bercermin bersama.

Jurnalisme adalah proses belajar yang tidak pernah selesai. Baik wartawan senior maupun pendatang baru, jurnalis tetap dituntut untuk terus mengasah kepekaan, memperdalam pengetahuan, dan menjaga integritas.

Baca Juga :  Sumenep; Indah di Luar, Rapuh di Dalam

Terlebih di daerah, di mana relasi sosial begitu dekat, godaan untuk berkompromi dengan kepentingan sering kali lebih besar.

Harapan saya, dunia jurnalistik di Sumenep dapat tumbuh secara sehat dan beradab. Dibutuhkan kesadaran kolektif, pembinaan yang berkelanjutan, serta keberanian individu untuk menempatkan etika di atas kepentingan sesaat.

Sebab pada akhirnya, profesi wartawan bukan tentang siapa yang paling dikenal atau paling berpengaruh, melainkan tentang siapa yang paling setia pada kebenaran dan kepentingan publik.***

PENULIS: Jurnalis Lepas