SUMENEP, MaduraPost – Gelombang pengunduran diri puluhan pegawai BMT NUansa di berbagai cabang Jawa Timur memunculkan persoalan yang lebih dalam daripada sekadar dinamika internal lembaga.
Di balik keputusan mundur tersebut, tersimpan tanda tanya besar mengenai hak normatif pekerja serta potensi dana jaminan sosial negara yang diduga tak pernah disalurkan sejak awal masa kerja.
Masalah ini mencuat setelah pengakuan seorang mantan Kepala Cabang BMT NU yang menyebut dirinya bekerja lebih dari empat tahun tanpa pernah didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Alasan yang disampaikan manajemen kala itu, menurutnya, hanya pegawai dengan masa kerja di atas lima tahun yang diikutkan program jaminan sosial tersebut.
“Belum didaftarkan (BPJS), saya kan hanya 4 tahun, itu yang didaftarkan yang di atas 5 tahun. Tapi dapet pesangon,” ujar pria yang kini beralih profesi sebagai pelaut itu, Minggu (21/12).
Pernyataan tersebut justru berseberangan dengan ketentuan perundang-undangan. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sumenep, Heru, menegaskan bahwa kewajiban pendaftaran BPJS Ketenagakerjaan berlaku sejak hari pertama seseorang resmi bekerja, tanpa pengecualian berdasarkan masa kerja.
“Perusahaan itu wajib ngurus BPJS Ketenagakerjaan karyawan. Tidak ada batasan waktu bekerja, sejak diterima itu harus diurus,” kata Heru.
Di sisi lain, Direktur BMT NU Jawa Timur, H. Masyudi Kanzillah, menyampaikan klaim bahwa seluruh karyawan tetap telah terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Namun, hingga kini, pihak manajemen belum memaparkan data rinci mengenai jumlah pekerja yang benar-benar terdaftar dari total sekitar 1.032 karyawan yang dimiliki.
Perbedaan keterangan antara pengakuan mantan karyawan, penjelasan Dinas Tenaga Kerja, dan pernyataan manajemen tersebut memantik pertanyaan publik yang lebih mendasar.
Jika selama bekerja karyawan tidak didaftarkan BPJS, berapa besar hak jaminan sosial dan pesangon yang sejatinya tidak pernah mereka terima?
Sebagai gambaran, dua mantan karyawan BMT NUansa mengaku menerima gaji Rp5 juta per bulan. Dengan asumsi tersebut, perhitungan hak normatif berdasarkan regulasi yang berlaku menunjukkan potensi kerugian yang signifikan, baik bagi pekerja maupun negara.
1. Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan
Iuran JHT ditetapkan sebesar 5,7 persen dari upah bulanan.
5,7% × Rp5.000.000 = Rp285.000 per bulan
Dalam 5 tahun (60 bulan): Rp285.000 × 60 = Rp17.100.000
Dengan asumsi pengembangan dana rata-rata 5–7 persen per tahun, nilai klaim JHT diperkirakan mencapai sekitar Rp20 juta hingga Rp21,5 juta per orang.
Dana tersebut sejatinya merupakan hak pekerja sekaligus bagian dari dana jaminan sosial yang seharusnya dikelola BPJS. Ketidakterdaftaran pekerja berarti hak itu hilang dari dua sisi.
2. Hak Pesangon (UU Cipta Kerja, Masa Kerja 5 Tahun)
Uang pesangon: 6 bulan gaji = Rp30.000.000
Uang penghargaan masa kerja: 2 bulan gaji = Rp10.000.000
Uang penggantian hak (UPH): sekitar 1 bulan gaji = Rp5.000.000
Total pesangon yang seharusnya diterima: Rp45.000.000
Akumulasi Hak yang Tidak Diterima
Jika digabungkan, hak normatif yang seharusnya diterima seorang karyawan dengan skema tersebut adalah:
JHT (estimasi): Rp20–21,5 juta
Pesangon: Rp45 juta
Total: sekitar Rp65 juta per orang
Dengan dua karyawan sebagai contoh, potensi hak yang tidak tersalurkan mencapai kurang lebih Rp130 juta.
Pertanyaan Publik yang Belum Terjawab
Fakta di lapangan menunjukkan adanya pekerja yang mengabdi selama tiga hingga lima tahun tanpa kepesertaan BPJS. Kondisi ini memunculkan sederet pertanyaan yang kini menjadi sorotan publik:
Berapa total iuran JHT yang tidak pernah disetorkan ke BPJS?
Berapa banyak pesangon yang dibayarkan di bawah standar undang-undang?
Seberapa besar potensi dana jaminan sosial negara yang tak pernah masuk kas BPJS?
Dan berapa hak pekerja yang lenyap karena tidak didaftarkan sejak awal masa kerja?
Ketidaksesuaian informasi antara karyawan, otoritas ketenagakerjaan, dan manajemen BMT NU menempatkan persoalan ini bukan lagi sebatas administrasi internal, melainkan dugaan pelanggaran hak normatif pekerja.
Jika satu pekerja saja berpotensi kehilangan sekitar Rp65 juta, bagaimana dengan puluhan karyawan yang telah mengundurkan diri?
Pertanyaan mengenai besaran hak pekerja dan dana negara yang tertahan di BMT NUansa kini menjadi tuntutan transparansi yang belum dijawab secara resmi oleh pihak manajemen hingga berita ini diturunkan.***






