Scroll untuk baca artikel
Agama

Santri Madura: Dari Resolusi Jihad hingga Hari Santri Nasional

Avatar
58
×

Santri Madura: Dari Resolusi Jihad hingga Hari Santri Nasional

Sebarkan artikel ini
RKH Ahmad Mahfudz wakil bupati sampang sekaligus pengasuh pondok pesantren mambaul ulum bira timur

SAMPANG, MaduraPost Di tengah hiruk-pikuk peringatan Hari Santri Nasional 2025, gema takbir dan salawat terdengar menggema dari pesantren-pesantren di Sampang. Di balik semangat itu tersimpan sejarah panjang perjuangan kaum sarungan—para santri—yang telah menorehkan tinta emas dalam perjalanan bangsa, dari masa penjajahan hingga lahirnya kemerdekaan Indonesia.

Bagi masyarakat Madura, santri bukan sekadar murid pesantren. Mereka adalah penjaga marwah agama, pelita pengetahuan, sekaligus pejuang yang ikut menyalakan api perlawanan terhadap penjajah. Di masa kolonial Belanda, banyak pesantren di Sampang, Pamekasan, hingga Bangkalan menjadi tempat persemaian semangat jihad dan kebangsaan.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Para kiai Madura dikenal tegas dan berani. Mereka menolak tunduk pada kekuasaan penjajah. Salah satu di antaranya adalah KH. Cholil Bangkalan, guru dari KH. Hasyim Asy’ari tokoh pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang kelak memimpin lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Fatwa bersejarah itu menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan, dan bagi santri Madura, seruan itu bukan sekadar kata-kata.

Baca Juga :  Ade Armando : Dalam Al-Qur’an Tidak Ada Perintah Sholat Lima Waktu

Ribuan santri dari berbagai pesantren di Madura termasuk dari Sampang berbondong-bondong berangkat ke Surabaya. Mereka membawa semangat jihad dan keberanian yang diwariskan dari para gurunya. Dalam berbagai catatan lisan, banyak dari mereka yang gugur tanpa nama di medan tempur 10 November 1945.

Namun, semangatnya tetap hidup dalam jiwa santri hingga kini.

“Perjuangan santri tidak hanya dengan bambu runcing, tapi juga dengan ilmu dan akhlak. Inilah warisan besar pesantren,” ujar RKH Ahmad Mahfudz pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bira Timur.

Baca Juga :  Pesan Moral Bupati Sumenep di Malam Nisfu Sya’ban

Setelah kemerdekaan, para santri Madura tidak berhenti berjuang. Mereka membangun sekolah, madrasah, dan pesantren. Mereka menjaga nilai moral, memupuk nasionalisme, serta menjadi bagian penting dari pembangunan daerah. Dari Sampang hingga ujung timur Madura, pesantren tumbuh menjadi pusat peradaban dan pendidikan rakyat.

Namun, pengakuan resmi terhadap peran besar santri baru datang puluhan tahun kemudian. Pada 22 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal itu sebagai Hari Santri Nasional, melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Tanggal tersebut diambil dari momentum lahirnya Resolusi Jihad, yang menjadi tonggak sejarah perjuangan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Baca Juga :  Ustadz Adi Hidayat : Berdo’a Dengan Bahasa Indonesia Lebih Mustajab

Kini, setiap tanggal 22 Oktober, santri di Sampang dan seluruh penjuru Madura memperingatinya dengan doa, zikir, kirab, hingga teatrikal perjuangan. Bagi mereka, Hari Santri bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan bentuk penghormatan terhadap perjuangan para kiai dan santri terdahulu.

“Santri dulu berjuang dengan bambu runcing, santri sekarang berjuang dengan ilmu dan akhlak. Tapi tujuannya sama, menjaga keutuhan bangsa,” tambah Ra Mahfudz yang juga menjabat sebagai Wakil Bupati Sampang dengan penuh semangat.

Delapan dekade telah berlalu sejak Resolusi Jihad dikumandangkan. Namun semangat itu masih menyala di dada para santri Madura. Dari surau-surau di pelosok desa hingga pesantren besar di kota, mereka terus melanjutkan perjuangan para pendahulu—menjaga agama, bangsa, dan nilai kemanusiaan.