KOLOM, MaduraPost – Gelombang rakyat Pati, arogansi kekuasaan dan tuntutan mundur untuk Bupati Sudewo.
“Aksi massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putsch, seorang anarkis, atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” – Tan Malaka.
Mengingat kembali kejadian demonstrasi besar-besaran di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, hal itu bukan sekadar menunjukkan kemarahan masyarakat, melainkan bukti bahwa tidak ada kekkuasaan yang layak dijadikan kebanggaan atau andalan untuk menindas rakyat.
Sikap arogan pemerintah terhadap rakyat menunjukkan kegagalan seorang pemimpin yang seharusnya merakyat. Padahal rakyat hanya ingin mendapatkan haknya dan hidup sejahtera tanpa diperas habis-habisan.
Selain kebijakan yang kontroversial, Bupati Pati juga menunjukkan sikap angkuh dengan nada menantang. Hal ini memicu lahirnya gerakan revolusi besar dari masyarakat sebagai bukti bahwa akal sehat rakyat masih ada.
Seperti yang sering kita dengar dari filsuf Yunani kuno, “Suara rakyat adalah suara Tuhan”, yang berarti kedaulatan rakyat berada di atas segalanya.
Suara rakyat harus dijunjung tinggi dan disampaikan kepada wakil rakyat demi kesejahteraan, bukan kesengsaraan.
Dilansir dari detikcom, kebijakan Bupati Sudewo yang dinilai kontroversial di antaranya:
PHK Karyawan RSUD: Salah satu karyawan yang telah bekerja 20 tahun harus kehilangan pekerjaannya dengan dalih efisiensi.
Kenaikan PBB-P2 250%: Disetujui dengan alasan belum pernah ada kenaikan selama 14 tahun, namun memicu penolakan luas hingga akhirnya dibatalkan pada 8 Agustus 2025.
Regrouping sekolah: Kebijakan penggabungan sekolah mengakibatkan guru honorer kehilangan kesempatan mengabdi.
Selain itu, Bupati Sudewo juga menantang massa aksi, bahkan menyatakan, “Siapa yang akan melakukan aksi? Yayak Gundul? Silakan lakukan! Jangan hanya 5 ribu orang, 50 ribu orang pun saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mundur satu langkah.”
Gelombang protes pada Rabu, 13 Agustus 2025 memperlihatkan jarak yang melebar antara pemerintah kabupaten dan warganya. Ribuan orang turun ke jalan menuntut Bupati mundur, meskipun PBB sudah dibatalkan.
Sudewo datang menemui massa dari kendaraan taktis yang dilindungi aparat kepolisian dan menyampaikan permintaan maaf, namun tetap menegaskan tidak akan mundur dengan alasan mandat demokratis.
DPRD merespons dengan menggulirkan hak angket serta pembentukan pansus pemakzulan. Ini bukan sekadar simbolik: seluruh fraksi terlibat, dan isu yang dibangun memang sesuai dengan kondisi dari pemerintahan yang otoriter terlalu tergesa-gesa mengambil kebijakan.
Tantangan tersebut menjadi cambuk bagi aktivis dan elemen masyarakat untuk turun ke jalan menuntut agar Bupati Sudewo mundur dari jabatannya. Karena dinilai sudah terlalu arogan untuk menjadi pemimpin bagi Pati.
Kejadian pada 13 Agustus 2025 ini menjadi alarm bagi pemerintah bahwa tidak ada jabatan yang pantas diangkuhkan. Kekuasaan sejatinya berasal dari rakyat, dan ketika rakyat tak lagi dianggap, tirani pun akan lahir.***
Kiriman Penulis: Ach. Zainuddin, Sekjen Nasional PPMI 2025-2027






