PAMEKASAN, MaduraPost – Siti Khadijah binti Khuwailid bukan sekadar istri pertama Rasulullah. Ia adalah perempuan yang mengorbankan segalanya—harta, kedudukan, bahkan nyawanya—demi Islam dan perjuangan sang suami.
Wanita bangsawan Quraisy yang dahulu hidup dalam kemewahan ini meninggal dalam keadaan miskin, namun penuh kemuliaan di sisi Allah.
Di saat ajal menjemput, ia hanya mengenakan pakaian sederhana yang penuh tambalan. Dengan suara lemah, ia berbisik kepada putrinya, Fatimah:
“Yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu agar beliau memberikan sorbannya yang biasa digunakan menerima wahyu untuk dijadikan kain kafanku. Aku malu dan takut memintanya sendiri.”
Mendengar permohonan itu, Rasulullah terdiam, lalu berkata, “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu dan telah mempersiapkan tempatmu di surga.”
Kesedihan menyelimuti rumah Rasulullah saat Khadijah menghembuskan napas terakhir di pangkuannya. Saat itu, Malaikat Jibril turun membawa lima lembar kain kafan dan mengucapkan salam.
“Ya Rasulullah, kain kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau, Fatimah, Ali, dan Hasan.”
Namun, tiba-tiba Jibril terdiam dan menangis. Rasulullah pun bertanya, “Kenapa, wahai Jibril?”
Dengan suara berat, Jibril menjawab,” Cucumu yang satu, Husain, tidak memiliki kafan. Ia akan dibantai, tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan.”
Mendengar itu, Rasulullah semakin larut dalam kesedihan. Ia menatap jasad istrinya dan berkata dengan lirih:
“Wahai Khadijah, demi Allah, aku tak akan pernah mendapatkan istri sepertimu. Engkau telah mengorbankan segalanya untuk Islam. Namun, mengapa permohonan terakhirmu hanya selembar sorban?”
Siti Khadijah bukan hanya istri, tetapi juga sahabat dan pejuang. Ketika Rasulullah berdakwah dan menghadapi berbagai caci maki, Khadijah selalu berada di sisinya.
Saat semua harta mereka habis, bahkan makanan pun sulit didapat, Khadijah tetap tegar. Ketika menyusui putrinya, Fatimah, bukan air susu yang keluar, melainkan darah. Namun, ia tetap tersenyum dan berkata kepada suaminya:
“Wahai Rasulullah, dahulunya aku seorang bangsawan dan hartawan. Semua itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Kini aku tak punya apa-apa lagi,” untainya.
“Tetapi engkau masih terus berjuang. Jika nanti aku mati sedangkan perjuanganmu belum selesai, maka galilah kuburku, ambillah tulang-belulangku, jadikanlah jembatan agar engkau bisa terus berdakwah dan mengajak manusia kepada Islam,” liriknya lagi.
Rasulullah menangis mendengar kata-kata itu. “Oh Khadijahku, kau meninggalkanku dalam perjuangan ini. Siapa lagi yang akan membantuku?”
Tiba-tiba, Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku, ya Rasulullah!”
Di samping jasad istrinya, Rasulullah mengangkat tangan dan berdoa:
“Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijah, yang selalu mendukungku dalam menegakkan Islam, yang mempercayaiku saat orang lain menolakku, yang menenangkan hatiku saat dunia membuatku gelisah.”
Khadijah telah tiada, tetapi jejaknya abadi dalam sejarah Islam. Ia bukan hanya istri Nabi, tetapi juga teladan sejati bagi setiap perempuan Muslim.***