MADURA, pulau yang dikenal dengan keteguhan budayanya, menyimpan sejarah yang panjang tentang komoditas perkebunan. Di antara komoditas tersebut, tembakau memiliki tempat istimewa, terutama karena sejarahnya yang terkait erat dengan kapitalisme yang dibawa oleh kolonial Belanda.
Namun, sebelum tembakau mengakar di tanah Madura, ada tanaman lain yang lebih dulu memperkenalkan penduduk pulau ini pada cengkeraman modal asing: tebu.
Tahun 1870 menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia, saat Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan peraturan baru yang mengubah pola penjajahan dari sistem monopoli ala VOC menjadi lebih liberal.
Inilah awal mula masuknya kapitalisme di Nusantara, di mana modal swasta asing mulai mengalir deras, menguasai pertambangan, perkebunan, dan pabrik-pabrik.
Meskipun pengusaha perkebunan tidak memiliki tanah, mereka diizinkan menyewa dari pemerintah kolonial, yang sering kali memaksa desa-desa menyewakan tanah mereka dengan iming-iming premi kepada kepala desa.
Di Madura, tebu pertama kali diperkenalkan pada tahun 1835 oleh sekelompok pengusaha Eropa. Sejak saat itu, tebu menjadi bagian dari lanskap pertanian Madura.
Pemerintah kolonial, setelah menghapus sistem kerajaan di Madura pada 1858, terus memperluas areal tebu hingga mencapai 10 ribu pikul pada 1860. Namun, ekspansi ini tidak datang tanpa dampak.
Kualitas tanah Madura yang sudah tandus semakin menurun karena tebu menyerap habis cadangan air dalam tanah, mengakibatkan gagal panen untuk tanaman pangan seperti jagung dan padi. Kekeringan yang melanda pun menjadi tak terelakkan.
Ketika tebu tak lagi menguntungkan, tiga usahawan Belanda beralih ke tembakau pada tahun 1861, dimulai dari Desa Pradopo di Pamekasan.
Berbeda dengan tebu yang menggunakan sistem tanam paksa, tembakau ditanam dengan sistem kerja kontrak, di mana perusahaan menyediakan bibit dan buruh mendapat upah.
Penanaman tembakau ini tidak hanya terjadi di Pamekasan, tetapi juga menyebar ke Sumenep dan Sampang, dengan produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Namun, momen gemilang bagi tembakau Madura terjadi pada Perang Dunia I, ketika produk lokal ini berhasil menembus pasar Eropa.
Sayangnya, reputasi tembakau Madura di pasar internasional rusak karena produsen di Surabaya gagal menjaga mutu. Meski begitu, tembakau tetap berjaya di pasar lokal, dan lahan-lahan tebu yang dulu mendominasi kini beralih fungsi menjadi ladang tembakau.
Tahun 1922, tanaman tebu di Pamekasan benar-benar ditinggalkan, sementara lahan tembakau mencapai 2.804 bau.
Tembakau dikenal sebagai “daun emas” karena kemampuannya beradaptasi dengan berbagai jenis lahan dan potensi keuntungan besar yang didapat petani jika panen berhasil.
Namun, di balik kesuksesan ini, kita perlu mengingat bahwa sejarah tembakau di Madura juga merupakan sejarah tentang bagaimana kapitalisme kolonial mengakar dan meninggalkan jejak panjang yang hingga kini masih dirasakan.
Sejarah ini patut menjadi bahan renungan, mengingatkan kita bahwa setiap perkembangan ekonomi memiliki dampak yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan.
Kisah tebu dan tembakau di Madura adalah cerminan dari dinamika ekonomi yang tak lepas dari pengaruh asing, yang meski memberikan keuntungan, juga meninggalkan kerusakan yang tak mudah diperbaiki.
Untuk yang ingin mendalami lebih jauh, kisah ini bisa ditemukan dalam buku karya Prof. Kuntowijoyo berjudul ‘Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940’.
Namun, bagi sebagian kita, mungkin cukup dengan mengambil pelajaran dari rangkumannya saja, bahwa sejarah selalu punya dua sisi, dan tak semuanya manis seperti yang terlihat.***
___
*Penulis adalah Direktur Indonesian Analisys Politi and Policy Consulting (Ide@).