SAMPANG, MaduraPost – Konflik ganti rugi ribuan rumpon atau rumah ikan milik nelayan Pantai Utara (Pantura) Madura kembali memanas. Sudah bertahun-tahun janji kompensasi dari Petronas dan PT Elnusa tak kunjung terealisasi, sementara nasib para nelayan kian terhimpit.
Ironisnya, alih-alih memberi kepastian, pihak-pihak yang terlibat justru saling lempar tanggung jawab. Petronas sempat menyatakan bahwa urusan ganti rugi sepenuhnya menjadi ranah Bupati Sampang, H. Slamet Junaidi. Namun, sang bupati memilih diam seribu bahasa.
Bagi Halil, nelayan asal Desa Masaran, Kecamatan Banyuates, sikap ini bukan sekadar menunda jawaban, tetapi sudah mencederai kepercayaan publik.
“Bupati Sampang seharusnya berdiri di depan membela warganya. Bukan malah bungkam. Diamnya beliau menimbulkan banyak tafsir—ada yang bilang ini strategi hati-hati, tapi banyak juga yang menilai ini cara menghindar dari tanggung jawab,” ujarnya, Selasa (12/8/2025).
Halil mengaku yang diterima nelayan bukan klarifikasi resmi dari Bupati, melainkan pernyataan dari pihak-pihak yang kesannya membela sang pemimpin daerah. “Ini aneh. Padahal yang nelayan tunggu hanya satu: kejelasan,” tegasnya.
Kemarahan nelayan semakin menjadi setelah mengetahui Petronas menggelar sosialisasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk rencana eksploitasi Sumur Hidayah di sebuah hotel mewah di Surabaya.
“Sumur Hidayah itu di perairan Pantura Madura. Sosialisasinya kok di Surabaya? Ini jelas pelecehan terhadap nelayan pesisir,” kecamnya.
Halil menegaskan, sebelum persoalan ganti rugi diselesaikan, nelayan akan menolak semua agenda eksploitasi migas di wilayah mereka.
“Petronas dan PT Elnusa jangan bohongi rakyat.
Kalau rumpon belum diganti rugi, jangan mimpi eksploitasi. Perairan ini milik nelayan, bukan untuk diambil seenaknya oleh perusahaan asing,” tandasnya.
Latar Belakang Sengketa
Persoalan ini bermula dari kerusakan ribuan rumpon nelayan akibat aktivitas eksplorasi dan operasi migas di perairan Pantura Madura. Rumpon—alat tangkap ikan yang menjadi tulang punggung mata pencaharian nelayan—hilang atau rusak parah.
Nelayan menuntut ganti rugi, dan Petronas melalui sejumlah pertemuan mengakui adanya dampak serta menjanjikan kompensasi. Namun, proses penyaluran dana disebut-sebut “terhenti” di tingkat pemerintah daerah.
Hingga kini, tidak ada pernyataan resmi yang jelas dari Bupati Sampang, sementara Petronas pun tak memberikan kepastian tentang waktu dan mekanisme ganti rugi. Akibatnya, nelayan merasa menjadi korban permainan tarik-ulur kepentingan antara perusahaan dan pejabat daerah.






