PAMEKASAN, MaduraPost – Karapan Sapi bukan sekadar perlombaan balap sapi, tetapi juga warisan budaya yang telah berakar sejak abad ke-16 di Pulau Madura.
Tradisi ini awalnya muncul bukan sebagai hiburan, melainkan sebagai bagian dari inovasi pertanian yang diperkenalkan oleh seorang ulama dari Kesultanan Demak, Syekh Ahmad Baidawi, yang juga dikenal sebagai Pangeran Katandur.
Awal Mula: Dari Garapan Sapi Menjadi Karapan Sapi
Pangeran Katandur datang ke Madura untuk menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengajarkan teknik bercocok tanam yang lebih efisien.
Salah satu metode yang dia perkenalkan adalah membajak sawah dengan bantuan sapi, yang jauh lebih cepat dibandingkan cara tradisional menggunakan cangkul.
Kecepatan sapi dalam membajak sawah ini menimbulkan kesenangan tersendiri bagi para petani Madura.
Dari kegembiraan tersebut, muncullah kebiasaan saling adu cepat dalam membajak tanah, yang lama-kelamaan berubah menjadi perlombaan Garapan Sapi, yang kemudian dikenal sebagai Karapan Sapi.
Perkembangan di Abad ke-18: Karapan Sapi Jadi Perlombaan Resmi
Pada abad ke-18, Panembahan Somala, seorang adipati dari Sumenep, memodifikasi perlombaan ini menjadi lebih menarik. Ia memindahkan ajang adu kecepatan sapi ini dari lahan pertanian ke lapangan terbuka.
Tak hanya itu, sapi-sapi yang bertanding juga dihias dengan Ubo Rampe, pernak-pernik khas kerajaan Sumenep yang memberikan kesan megah pada perlombaan.
Karapan Sapi kemudian menyebar ke berbagai daerah di Madura, dari Sumenep, Pamekasan, hingga Bangkalan.
Tradisi ini bahkan berkembang menjadi ajang bergengsi, di mana pemenangnya mendapat hadiah prestisius, termasuk Piala Presiden.
Karapan Sapi dan Unsur Mistis
Seiring berkembangnya popularitas Karapan Sapi, persaingan antar peserta semakin sengit. Tidak jarang terjadi kecurangan, seperti upaya sabotase terhadap sapi lawan.
Untuk menghindari hal ini, para pemilik sapi mulai menyewa Warok, pendekar dari Ponorogo, sebagai Penjagheh (penjaga) sapi dan joki mereka.
Kepercayaan terhadap unsur mistis juga turut mewarnai tradisi ini. Banyak pemilik sapi yang mempercayai ritual-ritual khusus agar sapi mereka lebih cepat dan kuat saat berlomba.
Karapan Sapi di Masa Kolonial dan Era Modern
Pada masa penjajahan Belanda, Karapan Sapi menjadi salah satu atraksi wisata yang menarik perhatian turis Eropa.
Perlombaan ini kemudian semakin populer hingga ditetapkan sebagai agenda tahunan dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan RI, biasanya berlangsung dari bulan Agustus hingga September.
Namun, di era modern, Karapan Sapi sempat menuai kontroversi. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Madura pernah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan Karapan Sapi jika dilakukan dengan kekerasan terhadap hewan.
Hal ini menimbulkan perdebatan, karena sebagian masyarakat menganggap Karapan Sapi sebagai bagian dari tradisi yang harus dipertahankan.
Sementara yang lain menuntut agar perlombaan ini dilakukan dengan lebih etis dan ramah terhadap hewan.
Kesimpulan
Meskipun mengalami pasang surut, Karapan Sapi tetap menjadi kebanggaan masyarakat Madura. Tradisi ini bukan hanya sekadar perlombaan.
Tetapi juga simbol kegigihan dan semangat masyarakat Madura dalam mempertahankan warisan leluhur mereka.
Dengan berbagai adaptasi, Karapan Sapi terus berkembang, baik sebagai atraksi wisata maupun ajang kompetisi budaya.
Sekaligus menjadi salah satu ikon yang membuat Madura dikenal luas di kancah nasional maupun internasional.***