SUMENEP, MaduraPost – Angka kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia terus mengalami peningkatan yang mencemaskan, termasuk di wilayah Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Fenomena ini tak hanya menjadi perhatian nasional, tapi juga menuai reaksi keras dari berbagai elemen mahasiswa.
Ketua PMII Komisariat STKIP PGRI Sumenep, Diky Alamsyah, mengkritisi peran negara yang dinilai belum optimal dalam merespons persoalan ini.
Ia menuding Dinas Sosial P3A Sumenep gagal menunjukkan komitmen serius dalam menangani kasus kekerasan yang terus berulang.
“Banyak pihak yang terkesan hanya bicara tanpa aksi. Negara, khususnya instansi terkait, tampak belum punya pola kerja yang efektif dalam mencegah maupun menanggulangi kekerasan seksual,” tegas Diky saat diwawancarai MaduraPost, Senin (28/7).
Mengacu pada laporan Komnas Perempuan, tahun lalu saja terjadi lebih dari 300 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan secara nasional, dengan kekerasan seksual menjadi bentuk yang paling dominan.
Kondisi ini diperparah oleh ketidaksetaraan gender, rendahnya edukasi seksual, serta masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat.
Di Sumenep, data dari UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mencatat sebanyak 156 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2022 hingga pertengahan 2025.
Rinciannya, 40 kasus terjadi pada 2022, turun menjadi 34 kasus pada 2023, namun melonjak ke angka 50 kasus pada 2024. Sementara itu, hingga Juni 2025 saja, sudah ada 32 laporan baru yang masuk.
Tak hanya itu, selama enam bulan pertama tahun ini, sudah terdapat 6 kasus pencabulan anak yang ditangani oleh pihak berwenang.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak bukan sekadar angka di laporan. Ini tentang bagaimana negara berpihak. Pemerintah tak boleh lagi bersandar pada retorika semata,” ujar Diky.
Diky menegaskan bahwa perempuan dan anak bukanlah pihak yang bisa diperlakukan semena-mena oleh siapa pun. Mereka memiliki hak yang sama atas rasa aman, martabat, dan perlindungan hukum.
“Kalau kekerasan dibiarkan terus terjadi, maka semua pihak—termasuk kami sebagai mahasiswa ikut terlibat dalam pembiaran itu,” tambahnya.
PMII Rancang Lima Strategi Solutif
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial, PMII STKIP PGRI Sumenep mengajukan lima pendekatan strategis untuk mengatasi kekerasan seksual di tingkat lokal maupun nasional. Langkah-langkah tersebut mencakup:
1. Pendidikan Seksual yang Komprehensif Sejak Dini
Edukasi sejak usia muda dianggap penting untuk memberikan pemahaman tentang tubuh, batasan pribadi, serta risiko kekerasan seksual.
2. Penguatan Penegakan Hukum dan Perlindungan Korban
Termasuk memastikan implementasi maksimal dari UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
3. Layanan Terpadu bagi Korban
Mencakup fasilitas konseling, bantuan hukum, serta tempat perlindungan sementara yang aman.
4. Pemberdayaan Komunitas dan Perempuan
Langkah ini bertujuan untuk membangun ketahanan sosial dan mengikis budaya patriarki yang masih kuat.
5. Kampanye Kesadaran Publik dan Peran Media
Upaya ini diharapkan dapat mengubah cara pandang masyarakat dan mendorong solidaritas kolektif.
PMII berkomitmen untuk terus mengawal isu ini melalui aksi advokasi, penyuluhan, dan kampanye sosial. Mereka juga membuka ruang kolaborasi dengan berbagai pihak, mulai dari instansi pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga media massa.
“Tak cukup berharap dari kebijakan semata. Perubahan hanya mungkin terjadi jika masyarakat, mahasiswa, dan institusi pendidikan turut ambil bagian,” tegas Diky.***






