SUMENEP, Madurapost.id – Selama masa pandemi Covid-19, angka perceraian di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa, Timur capai 576 kasus. Salah satu faktor utamanya didasari masalah internal keluarga, seperti perselisihan secara terus menerus.
“Yang paling dominan adalah perselisihan terus menerus, seperti cek-cok, tidak sejalan, dan tidak terbuka satu sama lain. Selama 7 bulan ini tercatat sebanyak 851 kasus dengan faktor serupa,” ungkap Panitera Muda Pengadilan Agama Negeri Sumenep, HM. Arifin, Rabu (2/9).
Selain itu, kasus gugat cerai dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Diantaranya, perselingkuhan, poligami, ditinggalkan sepihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan ekonomi.
Tak menutup kemungkinan, faktor eksternal juga di sebut-sebut dapat menjadi alasan dibalik maraknya kasus perceraian yang terjadi di Sumenep. Sebab, ruang gerak selama pandemi menyebabkan kejenuhan tersendiri.
“Yang biasanya orang lebih banyak beraktivitas diluar rumah, selama pandemi covid-19 harus berkurang dan terbatas ruang geraknya,” jelasnya.
Sedangkan faktor ekonomi juga menjadi alasan kuat banyaknya pasangan yang memilih untuk berpisah. Mengingat banyaknya karyawan yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi.
“Adanya pandemi ini juga menyebabkan produktivitas ekonomi turun drastis, baik secara lokal maupun nasional. Otomatis yang terdampak akan kesulitan dalam hal ini,” urainya.
Kurun waktu 7 bulan terakhir di tahun 2020. Angka perceraian di Kota Keris sudah ada pada jumlah 576 orang.
“Kalau istri yang menggugat cerai suami itu sebenarnya berjumlah 612 orang. Cuma yang sudah selesai diputus perkaranya jumlahnya 576,” ujarnya.
Data tersebut terhitung sejak bulan Januari hingga Juli 2020. Rinciannya, angka tertinggi di bulan Januari dengan jumlah 131 pemohon, Februari 83, Maret 98, April 76, Mei 31, Juni 109, dan Juli sebanyak 84.
“Jadi sisanya selama 7 bulan terakhir yang belum diputus itu adalah 36 perkara,” pungkasnya. (Mp/al/rul)






