SUMENEP, MaduraPost – Laporan dua wartawan di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, ke polisi atas kasus penganiayaan seolah menjadi ‘lawakan’ saja.
Pasalnya, usai dua korban wartawan tersebut melaporkan kejadian penganiayaan yang menimpa mereka, tak selang berapa hari, kasus ini malah dikabarkan sudah inkrah alias cabut laporan.
Seolah hanya ‘lawakan’ saja, polemik hukum dugaan penganiayaan oleh mantan dan Kades Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, terhadap dua oknum wartawan akhirnya berujung damai (Restoratif Justice).
Pada pewarta, Kasubbag Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti mengatakan, bahwa Restorative Justice (RJ) dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak telah dilakukan.
“RJ dilakukan atas persetujuan antara kedua belah pihak. RJ dilakukan pagi tadi,” kata Widiarti mengungkapkan, Senin (3/4/2023) kemarin.
Pihaknya juga menyebut, jika pihak pelapor telah meminta uang ganti rugi sebesar Rp150 juta secara tunai.
“Hal itu juga tertuang dalam berita acara,” ucap Widiarti.
Untuk diketahui, sebelumnya dua oknum wartawan itu melakukan langkah pelaporan terhadap Aparat Penegak Hukum (APH) dengan delik dugaan penganiayaan oleh mantan kades dan Kades Batuampar.
Tak hanya itu, aksi demonstrasi yang melibatkan para jurnalis dan aktivis juga dilakukan demi menuntut keadilan agar pelaku segera dilakukan penangkapan.
Terbukti, APH akhirnya berhasil meringkus pelaku penganiayaan dan ditetapkan sebagai tersangka, yakni eks kades dan Kades Batuampar.
Tak cukup disitu, Polres Sumenep sempat mengeluarkan rilis resmi terkait penangkapan eks kades dan Kades Batuampar.
Sayangnya, semua cerita ini seolah hanya menjadi ‘lawakan’ saja. Di mana, dua oknum wartawan tersebut mencabut laporannya dengan ganti rugi uang sebesar Rp.150 juta.
Secara harfiah, ‘lawakan’ biasanya dilakukan oleh satu orang atau berkelompok, membawakan materi yang dibuat sendiri meski ada juga yang membawakan ‘lawakan’ umum.
Lalu, bagaimana nasib marwah wartawan saat menyuarakan aspirasinya membela tentang profesi yang begitu mulia?
Stop Kekerasan Pada Wartawan!
Secara pengertian, ‘lawakan’ biasanya dilakukan di kafe-kafe sebagai bentuk latihan atau open-mike. Beberapa komika melakukan pertunjukkan tunggal mereka di teater-teater atau gedung pertunjukkan.
Genre ini biasanya dibandingkan dengan ‘lawakan’ berkelompok (grup lawak), seperti grup Srimulat, Warkop DKI, Bagito, Patrio, atau kelompok lawak lainnya, meskipun pada dasarnya memiliki teknik yang serupa dengan format yang berbeda.***






