SAMPANG, MaduraPost – Langit pagi di Pantai Utara (Pantura) Kecamatan Ketapang, Kabupaten Sampang, Madura, tampak cerah. Namun suasana di pesisir tak setenang biasanya.
Puluhan warga, mulai dari nelayan, ibu rumah tangga, hingga tokoh masyarakat, berdiri dalam satu barisan. Di tangan mereka terbentang spanduk-spanduk bernada penolakan terhadap perusahaan minyak dan gas asing yang telah lama beroperasi di wilayah mereka: Petronas Carigali Ketapang II Ltd.
Tulisan-tulisan di spanduk itu bukan sekadar simbol perlawanan. Itu adalah ekspresi dari kegelisahan yang dipendam bertahun-tahun.
“Keterlibatan Masyarakat Lokal Hukumnya Adalah Wajib Sesuai Undang-Undang Migas” dan “Kalau Masyarakat Lokal Tidak Dilibatkan, Kami Siap Usir Petronas dari Bumi Sampang” menjadi suara lantang warga yang menuntut keadilan.
“Kami Tidak Menolak Investasi, Tapi Jangan Lupakan Rakyat Kecil”
Firman, salah satu tokoh pemuda Ketapang, menjadi orator utama dalam aksi tersebut. Ia bukan aktivis profesional, tetapi suaranya menggema dengan keyakinan seorang yang muak dengan ketidakadilan.
“Selama bertahun-tahun Petronas beroperasi di Bukit Tua. Tapi kompensasinya untuk masyarakat? Tidak jelas. Nelayan merugi karena laut rusak. Ekosistem terganggu, hasil tangkapan turun drastis,” ucapnya lantang.
Firman menuturkan bahwa sejak Petronas melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di perairan sekitar Ketapang, nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang merosot. Limbah dan polusi laut diduga berasal dari aktivitas pengeboran lepas pantai.
“Dulu kami bisa pulang bawa ikan dua keranjang. Sekarang, jangankan dua, satu saja sulit,” kata Winarno, tokoh nelayan Pantura yang turut berorasi.
Program CSR yang Dipertanyakan
Warga juga mengkritisi program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dijalankan Petronas. Menurut Firman, program yang seharusnya menjadi bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat lokal, justru tak menyentuh kebutuhan riil warga.
“Mereka cuma bangun taman dan kasih mobil damkar. Tapi untuk pelatihan nelayan? Beasiswa? Bantuan alat tangkap? Tidak ada,” tegasnya.
Menurut warga, program CSR seharusnya dirancang dengan melibatkan komunitas lokal sebagai pihak yang paling terdampak. Namun hingga kini, keterlibatan warga dalam perencanaan dan pelaksanaan program tersebut nyaris tidak ada.
Siapa Petronas Carigali Ketapang II Ltd?
Petronas Carigali Ketapang II Ltd adalah anak perusahaan dari Petroliam Nasional Berhad (Petronas), perusahaan minyak dan gas milik negara Malaysia. Di Indonesia, perusahaan ini mengelola Blok Ketapang melalui Production Sharing Contract (PSC) yang diawasi oleh SKK Migas. Salah satu lapangan produksinya yang aktif adalah Bukit Tua, yang terletak di lepas pantai Madura bagian utara.
Petronas mulai melakukan pengeboran di wilayah ini sejak 2015. Dalam beberapa laporan resmi, lapangan Bukit Tua disebut memiliki potensi produksi minyak dan gas yang cukup signifikan. Bahkan, disebutkan bahwa nilai investasi yang ditanamkan Petronas di blok tersebut mencapai triliunan rupiah.
Namun ironisnya, menurut warga, keuntungan besar yang diperoleh dari eksplorasi itu tak sebanding dengan perhatian yang diberikan kepada masyarakat lokal.
“Bayangkan, mereka eksplorasi di laut kami, tapi warga sekitar tak dilibatkan. Bahkan tenaga kerja lokal pun sangat minim,” keluh Firman.
Tuntutan yang Menguat
Tuntutan warga kini mengerucut pada tiga hal: keterlibatan masyarakat dalam proses eksplorasi dan eksploitasi migas, transparansi kompensasi bagi warga terdampak, serta perombakan program CSR yang lebih berpihak pada kesejahteraan warga.
Bagi masyarakat pesisir Pantura, ini bukan hanya soal protes. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap perasaan dimarginalkan di tanah sendiri.
“Kami bukan anti-investasi. Tapi kami ingin hak kami dihormati. Jika tidak ada perubahan, kami siap menolak keberadaan Petronas,” ujar Winarno.
Belum Ada Tanggapan
Hingga berita ini diturunkan, pihak Petronas Carigali Ketapang II Ltd belum memberikan pernyataan resmi terkait aksi dan tuntutan warga.
Bagi warga Pantura, perjuangan ini bukan hanya untuk hari ini. Ini adalah upaya mempertahankan ruang hidup, warisan laut, dan hak atas kesejahteraan di tengah gempuran industrialisasi yang seringkali abai terhadap suara rakyat kecil.






