PAMEKASAN, MaduraPost – Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur, memiliki sejarah panjang yang penuh tantangan dan perjuangan.
Didirikan pada tahun 1943 M/1363 H oleh RKH. Abd Majid, pesantren ini tumbuh menjadi pusat pendidikan Islam yang berpengaruh. Namun, perjalanan kepemimpinannya tidak selalu berjalan mulus.
Awal Berdiri dan Sistem Pengajaran Tradisional
Di bawah kepemimpinan RKH. Abd Majid, sistem pembelajaran di pesantren ini masih bersifat tradisional dengan metode sorogan.
Di mana para santri membaca dan mengkaji kitab di hadapan guru secara langsung. Saat itu, belum ada sistem pendidikan formal, tetapi jumlah santri terus meningkat hingga mencapai 700 orang.
Namun, perjalanan RKH. Abd Majid dalam membangun pesantren ini terhenti pada tahun 1957 M, ketika beliau wafat.
Kepergiannya meninggalkan kekosongan kepemimpinan yang berdampak besar pada keberlangsungan pesantren.
Masa Kekosongan dan Rumput yang Menutupi Pesantren
Sejak wafatnya RKH. Abd Majid pada tahun 1957 hingga 1959, Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata mengalami kekosongan kepemimpinan.
Putra beliau, RKH. Abd Qadir, masih menuntut ilmu di Mekah, sementara menantunya, RKH. Ahmad Mahfudz Zayyadi, telah menetap di Pondok Pesantren Nurul Abror, Banyuwangi.
Dalam periode ini, pesantren sempat terbengkalai. Rumput liar tumbuh hingga setinggi lutut di sekitar area pesantren, mencerminkan kondisi stagnasi yang dialaminya.
Untuk sementara waktu, RKH. Abd Hamid Bakir, putra RKH. Abd Majid yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren Banyuanyar, berusaha mengisi kekosongan dengan memberikan pembinaan secara berkala.
Kembalinya RKH. Abd Qadir dan Tragedi yang Menghentikan Langkahnya
Harapan untuk membangkitkan kembali pesantren muncul ketika RKH. Abd Qadir kembali dari Mekah pada tahun 1959 dan mengambil alih kepemimpinan.
Namun, takdir berkata lain. Hanya beberapa bulan setelah kembali, pada 5 Agustus 1959, beliau wafat.
Kematian RKH. Abd Qadir menciptakan kekosongan kepemimpinan untuk kedua kalinya.
Kondisi ini semakin mengancam keberlanjutan pesantren yang sudah sempat mengalami keterpurukan.
Kepemimpinan Baru: Bangkit dari Keterpurukan
Untuk mengisi kekosongan, keluarga besar pesantren meminta RKH. Ahmad Mahfudz Zayyadi, menantu RKH. Abd Majid, yang saat itu telah 12 tahun bermukim di Banyuwangi, agar kembali dan memimpin pesantren.
Pada tahun 1959, beliau resmi mengambil alih kepemimpinan dan membawa perubahan signifikan bagi Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
Selama 26 tahun kepemimpinannya (1959–1986), sistem pendidikan semakin berkembang dan pesantren kembali menjadi pusat keilmuan yang berpengaruh di Madura.
Setelah wafatnya RKH. Ahmad Mahfudz Zayyadi pada tahun 1986, kepemimpinan beralih kepada RKH. Abd. Hamid Ahmad Mahfudz Zayyadi pada tahun 1987.
Beliau membawa pesantren ke era modern, tetap mempertahankan nilai-nilai salaf, tetapi juga membuka diri terhadap perkembangan zaman.
Jejak Keilmuan dan Ulama yang Mewarnai Pendidikan
Sebelum menjadi pengasuh, RKH. Abd. Hamid Ahmad Mahfudz Zayyadi menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, selama tujuh tahun, lalu melanjutkan studinya di Mekah selama 12 tahun.
Di sana, ia berguru kepada ulama besar seperti Sayyid Muhammad Amin Kuthbi, Sayyid Alawi Al-Maliki, Sayyid Muhammad Hasan Al-Yamani, dan Syeikh Yasin bin Isa Al-Padangi.
Keilmuannya yang luas membawa pengaruh besar dalam pengembangan kurikulum dan sistem pendidikan di Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.
Dari Masa Sulit Menuju Kejayaan
Sejarah panjang Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata menunjukkan bagaimana sebuah institusi pendidikan Islam mampu bangkit dari keterpurukan.
Dari masa kekosongan kepemimpinan hingga kejayaannya saat ini, pesantren ini tetap menjadi salah satu pusat keilmuan Islam terkemuka di Madura.
Kisah ini menjadi bukti bahwa perjuangan dan keteguhan dalam mempertahankan nilai-nilai keislaman dapat mengatasi berbagai rintangan, sekaligus menjadi inspirasi bagi pesantren lain di Indonesia.***