SUMENEP, MaduraPost – Polemik mengenai status wilayah pesisir laut yang memiliki sertifikat masih terus berlanjut.
Setelah sebelumnya terjadi di Tangerang dan Sidoarjo, kini wilayah laut di Sumenep juga dilaporkan telah memiliki sertifikat.
Berbeda dengan kedua wilayah tersebut, laut seluas 20 hektare di Sumenep telah memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM).
Luas wilayah laut yang telah bersertifikat tersebut terletak di Dusun Tapakerbau, Desa Gersik Putih, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. Sertifikat ini tercatat atas nama individu.
Berdasarkan informasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), sertifikat tersebut diterbitkan pada tahun 2009 untuk kawasan pantai laut Gersik Putih.
Sertifikat yang diterbitkan oleh BPN tersebut dikeluarkan atas nama beberapa orang dengan luas yang bervariasi.
Kasi Pendaftaran Hak pada ATR/BPN Sumenep, Suprianto, membenarkan bahwa wilayah laut di Gersik Putih sudah bersertifikat sejak 2009.
Ia menjelaskan, bahwa sertifikasi tersebut dilakukan melalui prosedur ajudikasi dengan melibatkan pihak ketiga untuk mengukur lahan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa lahan seluas 20 hektare tersebut bukan termasuk laut.
“Lahan tersebut bukan laut, melainkan daratan yang tergenang air saat pasang dan terlihat kembali saat surut. Jika ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan, mereka dipersilakan untuk mengajukan gugatan. Namun, SHM ini sah secara hukum,” katanya, dikutip MaduraPost dari Inilah.com, Jumat (24/1) petang.
Namun, sesuai dengan arahan dari Kanwil BPN Jawa Timur, pihaknya berencana melakukan inventarisasi ulang terhadap temuan lahan seluas 20 hektare yang sudah memiliki SHM tersebut.
Kasus mengenai laut yang memiliki SHM ini mencuat pada 2023, saat rencana reklamasi pantai seluas 20 hektare tersebut mulai dibahas.
Reklamasi tersebut rencananya untuk membangun tambak garam pada lahan yang bersertifikat atas nama perorangan.
Namun, rencana tersebut mendapat penolakan keras dari warga Dusun Tapakerbau, Desa Gersik Putih, yang merupakan penduduk terdekat dengan wilayah ber-SHM itu.
Mereka menentang reklamasi karena lahan tersebut sudah lama menjadi sumber penghidupan mereka sebagai nelayan.
Jika reklamasi jadi dilaksanakan, para nelayan setempat akan kehilangan mata pencaharian mereka.***