SAMPANG, MaduraPost— Di area gedung DPRD Kabupaten Sampang, ribuan warga dari berbagai desa berteriak lantang menuntut percepatan pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Selasa (28/10/2025).
Aksi yang dimulai sejak siang itu awalnya berlangsung damai. Namun berubah menjadi ricuh setelah polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa. Para demonstran menilai, pemerintah daerah dan DPRD sengaja mengulur waktu penyelenggaraan Pilkades.
Bagi warga desa, keterlambatan itu bukan sekadar soal jadwal administratif. Tapi soal kepemimpinan yang absen, soal nasib pembangunan yang terhenti, dan soal rasa keadilan yang mulai hilang di akar rumput.
“Desa kami sudah dua tahun dipimpin Pj (pejabat sementara). Banyak program macet, keputusan penting tidak bisa diambil. Kami butuh pemimpin definitif,” kata Rofi, koordinator aksi, dengan suara serak setelah berjam-jam berorasi.
Pilkades yang Tak Kunjung Datang
Penundaan Pilkades di Sampang bukan hal baru. Sejak 2021 beberapa kali jadwal pemilihan kepala desa diundur dengan alasan belum adanya regulasi teknis dan kesiapan anggaran.
Padahal, di banyak desa, masa jabatan kepala desa sebelumnya sudah berakhir. Pemerintah Kabupaten Sampang menunjuk pejabat sementara untuk mengisi kekosongan, tapi kebijakan itu justru menimbulkan persoalan baru.
“Pj itu tidak punya legitimasi sosial. Mereka tidak punya akar di desa. Akibatnya, kebijakan banyak mandek dan pelayanan publik menurun,” Ucap Rofi menambahkan.
Menurutnya, mandeknya Pilkades menunjukkan lemahnya komitmen politik pemerintah daerah terhadap demokrasi di tingkat lokal.
“Pilkades adalah bentuk paling nyata partisipasi rakyat. Kalau ditunda terus, artinya rakyat diabaikan,” ujarnya.
Ketua DPRD yang Menghilang dan Simbol Elit yang Jauh dari Rakyat
Ketidakhadiran Ketua DPRD Sampang, Rudi Kurniawan, saat ribuan massa memadati halaman parlemen menjadi sorotan. Bagi para demonstran, itu bukan sekadar absensi seorang pejabat, tapi simbol jauhnya elit politik dari denyut aspirasi masyarakat desa.
“Dia tidak berani menemui kami. Padahal dia wakil rakyat. Kalau tidak berani berdialog dengan rakyat, untuk apa jadi dewan?” sindir Rofi, disambut sorakan massa.
Sikap diam DPRD memperkuat persepsi publik bahwa lembaga itu terjebak dalam kepentingan politik internal. Dalam beberapa periode terakhir, dinamika Pilkades di Sampang memang kerap dikaitkan dengan tarik-menarik kepentingan penjabat di tingkat kabupaten.
Demokrasi Lokal yang Tertahan
Dalam konteks yang lebih luas, stagnasi Pilkades di Sampang mencerminkan bagaimana demokrasi di tingkat lokal bisa macet karena tarik-menarik kekuasaan di atasnya.
Data Kementerian Dalam Negeri mencatat, hingga pertengahan 2025, masih ada lebih dari 4.000 desa di Indonesia yang belum menggelar Pilkades sesuai jadwal. Sebagian besar karena masalah regulasi, anggaran, atau konflik politik lokal.
Rakyat yang Tak Ingin Diam
Meski sempat dibubarkan dengan gas air mata, massa aksi di Sampang berjanji akan kembali turun ke jalan. Mereka menganggap perjuangan ini bukan hanya tentang Pilkades, tetapi juga tentang harga diri masyarakat desa yang merasa dikesampingkan.
“Kami hanya ingin demokrasi di desa berjalan normal. Jangan jadikan jabatan kepala desa sebagai alat politik,” kata Samsul salah satu orator lainnya.
Bagi sebagian warga, ketidakhadiran pemimpin definitif di desa berarti stagnasi di segala bidang: mulai dari distribusi bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, hingga pengelolaan keuangan desa.
“Kalau tidak segera diubah, desa-desa di Sampang akan terus hidup dalam kekosongan kepemimpinan,” tutupnya.






