SUMENEP, MaduraPost – Belakangan ini, nama Sumenep mencuri perhatian publik nasional, setelah Tong Tong Angin Ribut dari Kecamatan Pasongsongan tampil memukau sebagai delegasi dalam ajang Indonesia Street Performance (ISP) 2025) yang digelar di Yogyakarta, Rabu, 6 Agustus 2025, malam.
Grup musik tradisional khas kabupaten paling timur Pulau Madura itu tidak hanya menghidupkan suasana di sepanjang Malioboro, tapi juga menyedot perhatian wisatawan mancanegara. Kamera-kamera ponsel penonton terangkat, mengabadikan momen berkesan malam itu.
Perbincangan mengenai penampilan salah satu budaya Sumenep tidak berhenti malam itu. Setelahnya, tak sedikit warganet yang memuji ‘aksi jalanan’ Tong Tong Angin Ribut di media sosial, dan bahkan menjadi penasaran dan tertarik untuk mengenal Sumenep lebih jauh.
Sebagai strategi promosi budaya dan pariwisata, ini jelas langkah sukses. Nama Sumenep mendadak terangkat, dan citra daerah mendapat nilai tambah.
Namun, keberhasilan malam itu tetap menyisakan pertanyaan: apakah kekaguman orang-orang malam itu akan tetap bertahan setelah mereka mengetahui lebih jauh tentang Sumenep?
Terlepas dari penampilan memukau Tong Tong Angin Ribut di ISP 2025, Sumenep sesungguhnya menyimpan ribut-ribut lain yang tak kalah nyaring. Berbagai dinamika sosial, gesekan politik, hingga perbedaan kepentingan kerap muncul ke permukaan.
Bahkan, hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan secara tenang, sering kali dibesar-besarkan hingga menjadi konsumsi publik.
Media sosial lokal, yang seharusnya menjadi ruang berbagi informasi konstruktif untuk kemajuan daerah, justru lebih sering menjadi arena saling sindir dan saling bongkar.
Fenomena ini melahirkan persepsi bahwa Sumenep bukan sekadar daerah yang “hidup”, tapi juga “selalu ramai”.
Kondisi seperti ini, meski tidak selalu berdampak langsung pada keamanan, namun tetap akan berpengaruh terhadap citra daerah.
Investor menjadi ragu, wisatawan berpikir dua kali, dan pelaku industri akan cenderung menunggu situasi lebih stabil sebelum mengambil langkah.
Promosi budaya seperti penampilan di ISP 2025 ibarat membuka pintu rumah lebar-lebar dan mengundang tamu masuk.
Namun, jika di dalam rumah suasananya tidak tertata, penuh perdebatan, atau sarat gesekan, kesan positif yang tercipta di awal akan mudah pudar.
Dalam konteks pariwisata dan investasi, konsistensi pengalaman adalah kunci. Wisatawan tidak hanya menilai keindahan alam atau kekayaan budaya, tapi juga kenyamanan dan ketenangan suasana.
Begitu pula dengan investor, yang tidak hanya menghitung potensi keuntungan, namun juga menilai stabilitas sosial dan politik daerah.
Jika promosi terus dilakukan tanpa mendapat dukungan dari internal, hasilnya akan seperti membangun rumah megah dengan pondasi rapuh: indah di luar, rapuh di dalam.
Sumenep memiliki modal besar untuk menjadi destinasi unggulan, baik di sektor wisata maupun investasi. Kekayaan budaya, alam yang memesona, dan warisan sejarah yang kuat adalah aset yang tidak dimiliki semua daerah. Namun, modal ini harus dijaga dengan iklim yang kondusif.
Semua pihak, mulai dari pemerintah, tokoh masyarakat, pelaku usaha, aktivis, hingga warga, perlu menahan diri dari membesarkan perbedaan yang seharusnya bisa dikelola secara dialogis.
Isu-isu murahan yang terus dibiarkan membesar tidak hanya akan menguras energi, tapi juga akan membuat promosi luar daerah menjadi sia-sia.
Mengelola perbedaan dengan kepala dingin, menyelesaikan masalah tanpa memperkeruh suasana, dan memprioritaskan kepentingan bersama di atas ego kelompok atau dendam politik adalah langkah mendasar.
Ketika kondisi kondusif tercipta, promosi akan memiliki fondasi yang kuat, dan setiap wisatawan atau investor yang datang akan merasakan langsung kehangatan Sumenep, bukan sekadar mendengar iramanya dari kejauhan.***
Penulis : Mohammad Madani






