SAMPANG, MaduraPost — Konflik antara nelayan utara Madura dan perusahaan migas Petronas Carigali Indonesia kian memanas. Setelah lebih dari sebulan kerusakan rumpon—rumah ikan yang menjadi tumpuan ekonomi nelayan—tak kunjung diganti, perusahaan migas asal Malaysia itu justru mengarahkan tanggung jawab kepada Pemerintah Kabupaten Sampang.
Hal itu terungkap dari pernyataan Senior Manager Corporate Affairs & Administration Petronas Carigali Indonesia, Erik Yoga, yang dikirim melalui pesan WhatsApp kepada wartawan media ini, Senin, 28 Juli 2025. Erik menyebut pihaknya hanya menjalankan arahan dari Bupati Sampang, Slamet Junaidi.
“Arahan dari Pak Bupati agar panjenengan merapat ke Pemkab, kalau ada keluhan atau permintaan klarifikasi,” tulis Erik dalam pesan singkat itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya diminta beliau agar semua pihak yang terkait keluhan-keluhan rumpon ini diarahkan ke Pemkab.”
Pernyataan itu sontak memicu gelombang kritik. Sejumlah aktivis dan kelompok nelayan menilai Petronas telah melempar tanggung jawab dan bersembunyi di balik kekuasaan lokal.
“Kenapa malah dilempar ke Bupati? Seharusnya Petronas, PT Elnusa, dan SKK Migas yang bertanggung jawab langsung. Bukan malah berlindung di bawah pemerintah daerah,” ujar Hanafi, aktivis dari Ormas Pro Jokowi Kabupaten Sampang.
Hanafi curiga ada upaya sistematis untuk mengalihkan sorotan dari kewajiban perusahaan ke arah jalur birokrasi. “Memangnya Bupati ini siapa? Kok bisa sampai jadi juru bicara perusahaan asing? Ini ironis.”
Kecurigaan serupa datang dari Imron, aktivis pembela nelayan asal Sokobanah. Ia menyebut tindakan Petronas dan SKK Migas telah mencederai komitmen yang sebelumnya dibangun dalam pertemuan resmi bersama perwakilan nelayan.
“Dalam notulen pertemuan di Bebek Sinjay beberapa waktu lalu, mereka sepakat untuk menggelar audiensi terbuka soal transparansi pembayaran ganti rugi rumpon yang disalurkan melalui PT Elnusa. Tapi sekarang justru menghindar dan lempar ke Bupati. Jangan-jangan dananya sudah dialihkan,” kata Imron.
Menurut Imron, para nelayan merasa dikhianati. Mereka menilai komunikasi yang selama ini terjalin hanya basa-basi birokratis tanpa ada penyelesaian konkret. “Petronas dan SKK Migas tidak komitmen. Ini bukan hanya soal uang, tapi soal keadilan nelayan kecil yang dirampas haknya,” ujarnya.
Uang Ganti Rugi Masuk ke Mana?
Kerusakan rumpon milik para nelayan disebut sebagai dampak langsung dari kegiatan survei seismik migas di perairan Madura oleh Petronas dan mitranya, PT Elnusa. Namun hingga kini, tak satu pun dari nelayan yang diklaim menerima kompensasi.
Masalah menjadi semakin keruh karena Petronas tidak menjelaskan ke publik skema penyaluran dana ganti rugi tersebut. Di sisi lain, Pemkab Sampang pun belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi ihwal mekanisme penyelesaian konflik ini.
“Apakah benar uang ganti rugi itu ada? Jika ada, kenapa tidak langsung diberikan ke nelayan sebagai pihak terdampak? Jangan-jangan sudah masuk ke pihak lain, termasuk oknum pejabat daerah,” kata Imron dengan nada curiga.
Aksi Balasan di Laut dan Darat
Sebagai bentuk protes, nelayan Madura yang tergabung dalam Aliansi Pembela Rumpon merencanakan demonstrasi besar-besaran dalam waktu dekat. Aksi akan digelar selama dua hari di titik-titik strategis, termasuk objek vital migas.
“Hari pertama kami akan datangi Rig Bukit Tua dan kantor Petronas di Gresik. Hari kedua kami demo ke SKK Migas Jabanusa. Tuntutannya cuma satu: selesaikan ganti rugi rumpon tanpa campur tangan birokrasi daerah,” ujar Imron lantang.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Bupati Slamet Junaidi belum memberikan klarifikasi atas dugaan keterlibatannya dalam pengalihan komunikasi Petronas ke Pemkab.
Ruang Gelap Skema Ganti Rugi
Kisruh ini membuka kembali pertanyaan mendasar: bagaimana tata kelola eksplorasi migas yang menyentuh ruang hidup masyarakat pesisir? Dan sejauh mana transparansi perusahaan asing dalam memenuhi tanggung jawab sosial mereka?
Dari investigasi awal, belum ada dokumen resmi yang menjelaskan posisi hukum antara Pemkab dan Petronas dalam konteks konflik rumpon ini. Surat keputusan, MoU, atau kontrak tripartit antara SKK Migas, Pemkab, dan perusahaan pun tak pernah diungkap ke publik.
“Sampai hari ini kami tidak tahu, siapa yang seharusnya bertanggung jawab secara langsung. Petronas terus menghindar, SKK Migas diam, dan pemerintah daerah justru seperti jadi perisai,” kata Hanafi.
Dengan kondisi seperti ini, konflik antara rakyat dan korporasi bisa jadi bukan hanya pertarungan soal kerugian materi, tapi juga perlawanan terhadap ketimpangan kuasa.