PAMEKASAN, MaduraPost – Jika membicarakan sejarah bahasa Indonesia, nama yang sering muncul adalah Mohammad Yamin, Sanusi Pane, atau Sutan Takdir Alisjahbana.
Namun, tahukah Anda bahwa ada sosok penting lain yang berasal dari Pamekasan? Dialah Mohammad Tabrani, seorang tokoh yang memperjuangkan penamaan agar bahasa persatuan bangsa disebut “Bahasa Indonesia,” bukan “Bahasa Melayu.”
Pada Kongres Pemuda I tahun 1926, konsep bahasa persatuan masih diperdebatkan. Saat itu, Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa persatuan disebut “Bahasa Melayu,” mengingat penggunaannya yang luas di Nusantara.
Namun, Tabrani menolak dan berpendapat bahwa jika bangsa dan tanah air disebut “Indonesia,” maka bahasa persatuannya juga harus disebut “Bahasa Indonesia.”
Pendapat ini akhirnya diterima pada 2 Mei 1926, yang kemudian menjadi momentum kelahiran Bahasa Indonesia.
Dua tahun kemudian, gagasan ini dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Kita pun mengenal ikrar bersejarah:
1. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Seandainya bukan karena Tabrani, mungkin hingga kini kita masih menyebut bahasa persatuan sebagai “Bahasa Melayu.”
Lahir di Pamekasan, Madura, pada 10 Oktober 1904, Tabrani awalnya menempuh pendidikan di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Bandung.
OSVIA sebetulnya mencetak pegawai pemerintah (amtenar), tetapi Tabrani lebih memilih menjadi wartawan.
Perjalanan jurnalistiknya dimulai di Hindia Baroe (1925-1926) di bawah bimbingan Agus Salim. Ketika Agus Salim meninggalkan posisinya, Tabrani naik menjadi pemimpin redaksi.
Ia kemudian melanjutkan studinya di Berlin Universität dan Köln Universität, Jerman, mengambil jurusan Jurnalistik dan Ilmu Persuratkabaran.
Setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan Partai Rakyat Indonesia dan menjadi pemimpin redaksi Revee Politiek (1932-1936).
Kariernya terus menanjak, hingga ia mengelola beberapa media besar seperti Pemandangan, Suluh Indonesia, dan Indonesia Merdeka.
Di masa penjajahan Jepang, Tabrani memimpin koran Tjahaya di Bandung. Namun, aktivitasnya membuatnya dijebloskan ke penjara Sukamiskin.
Di penjara, ia mengalami penyiksaan yang menyebabkan kakinya pincang. Setelah bebas, ia kembali berjuang lewat dunia jurnalistik.
Pasca-kemerdekaan, Tabrani ikut membidani lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946. Ia juga mendirikan Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum bersama Mr. Wilopo di Jakarta.
Murid-muridnya kelak menjadi jurnalis ternama, termasuk Anwar Tjokroaminoto dan Syamsudin Sutan Makmur.
Mohammad Tabrani wafat pada 12 Januari 1984, di Jakarta, dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Meski namanya tak selalu disebut dalam sejarah besar bangsa, jasanya dalam menamai bahasa persatuan tak bisa dilupakan.
Bagi masyarakat Pamekasan dan Madura, sosok Tabrani adalah kebanggaan. Ia membuktikan bahwa putra daerah bisa menjadi tokoh nasional, asalkan memiliki semangat belajar dan tekad kuat.
Jadi, siapa bilang orang Madura tidak bisa memberi pengaruh besar bagi Indonesia? Tabrani adalah buktinya!***






