MaduraPost, OPINI – Gerakan Pemuda Ansor adalah salah satu Badan Otonom (Banom) Nahdlatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang kepemudaan dan kemasyarakatan. Kiprah GP Ansor dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sudah tidak terbantahkan. GP Ansor memang lahir untuk diproyeksikan sebagai wadah berkiprah dan pengabdian secara konkret, baik kepada agama, negara, alim ulama, pesantren, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Inilah yang membedakan GP Ansor dengan organisasi-organisasi kepemudaan lainnya.
Hari-hari mendekati momentum pemilihan umum di Indonesia, banyak tokoh-tokoh berkepentingan yang mendekati bahkan sampai mengikuti pelatihan kaderisasi di tubuh NU dan banomnya GP Ansor hanya untuk diakui keidentitasannya.
Organisasi yang mempunyai basis masa kepemudaan ini telah terdegradasi nila-nilai dari tujuan awalnya. Terlebih banyak beredar berita Ketua Umum GP Ansor memberikan sinyal kepada salah satu tokoh yang mempunyai syahwat politik untuk mengikuti kontestasi kepemimpinan di 2024. Hal semacam ini sangat disayangkan, memberikan dukungan kepada salah satu kader yang tidak pernah merasakan proses kaderisasi dan pengabdian yang seutuhnya kepada Nahdlatul Ulama dan masyarakat.
Salah satu contoh bakal calon presiden 2024 Menteri BUMN atau Bapak Erick Thohir yang mengikuti kaderisasi Banser dan belum genap 1 tahun menjadi bagian dari GP Ansor telah berani menjadikan organisasi suci ini sebagai kuda politik untuk memenuhi syahwat politiknya.
“Pak Erick, Ansor bukan Inter Milan yang bisa kau beli, kau permak terus kau jual lagi. Pak Erick, Ketua Umum GP Ansor di amanati untuk merawat dan menjalankan organisasi, bukan untuk menjualnya ke-NU-turalisasi”
Meminjam kata-kata seorang sahabat, ‘Tidak boleh ada pengultusan kader dalam Gerakan Pemuda Ansor, karena dalam sejarahnya sahabat-sahabat Ansor adalah orang-orang yang ikhlas menolong Rasulullah, dan tidak pernah menggadaikan ketulusan mereka dengan imbalan bahkan jabatan’.