Scroll untuk baca artikel
Sosial

Belajar Ikhlas dari Ibrahim, Menghidupkan Jiwa Sosial Lewat Kurban

Avatar
7
×

Belajar Ikhlas dari Ibrahim, Menghidupkan Jiwa Sosial Lewat Kurban

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi: Kisah agung Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS bukan cerita biasa. Di dalamnya terdapat pelajaran luar biasa tentang ketaatan tanpa batas dan keikhlasan tanpa syarat. (Pinterest/Lena)

PAMEKASAN, MaduraPost – Setiap kali bulan Dzulhijjah tiba, umat Islam di seluruh dunia bersiap menyambut satu hari besar yang sarat makna: Hari Raya Idul Adha. Di hari itu, gema takbir menggema dari desa hingga kota, menandai perayaan ibadah yang bukan hanya ritual, tapi juga spiritual: ibadah kurban.

Namun, Idul Adha bukanlah semata-mata tentang menyembelih hewan dan membagikan daging. Lebih dari itu, Idul Adha adalah panggilan jiwa. Ia menantang nurani manusia: sejauh mana kita sanggup berbagi, rela melepaskan, dan ikhlas menjalani ujian kehidupan.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Kisah agung Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS bukan cerita biasa. Di dalamnya terdapat pelajaran luar biasa tentang ketaatan tanpa batas dan keikhlasan tanpa syarat.

Baca Juga :  Kalebun Pantura Bersatu Salurkan Bantuan Kepada Korban Puting Beliung Desa Paopale Laok

Bayangkan, seorang ayah diminta menyembelih anaknya sendiri atas nama perintah Tuhan. Sementara sang anak, justru pasrah dan rela jika itu yang memang dikehendaki Ilahi.

Peristiwa ini tidak berhenti menjadi sejarah. Ia adalah pesan moral yang terus hidup, menjadi landasan dari makna qurban: pengorbanan terbesar lahir dari cinta terbesar kepada Tuhan.

Dalam praktiknya, kurban menjadi cara konkret mengikis jurang sosial. Di tengah masyarakat yang masih banyak dihimpit kesulitan ekonomi, daging kurban menjadi harapan—bukan hanya untuk konsumsi, tapi juga untuk merasakan bahwa mereka tak dilupakan.

Idul Adha menyatukan yang kaya dan yang kurang mampu. Tidak ada batas kelas. Semua bisa merayakan, karena hakikat kurban bukan pada nilai harta yang diberikan, tetapi keikhlasan dan niat tulus di baliknya.

Baca Juga :  Kisah Idul Adha Dari Mimipi Ibrahim ke Perayaan Kurban

Dalam kehidupan modern yang kerap sibuk dengan ambisi dan pencapaian pribadi, Hari Raya Kurban hadir sebagai penyeimbang. Ia mengajarkan bahwa hidup juga tentang berbagi. Tentang menengok ke bawah, bukan hanya mendongak ke atas.

Kurban mengasah empati, menumbuhkan kepedulian, dan menanamkan rasa tanggung jawab sosial. Ia mengingatkan bahwa harta bukanlah milik kita sepenuhnya, tapi ada hak orang lain yang dititipkan Tuhan melalui tangan kita.

Lebih dalam lagi, Idul Adha juga menjadi momen muasabah—introspeksi diri. Sudahkah kita rela mengorbankan hal-hal yang merusak hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan diri sendiri? Ego, amarah, keserakahan, dan kemalasan—bisa jadi itulah “Ismail” yang perlu kita korbankan hari ini.

Baca Juga :  Terdampak Kekeringan, Polsek Sokobanah Sampang Salurkan Air Bersih Kepada Warga Desa Tobai Barat

Idul Adha bukan tentang banyaknya daging yang disembelih, tapi seberapa banyak hati yang dibersihkan. Ia adalah panggilan untuk kembali pada kemurnian niat, kejernihan hati, dan kepekaan sosial.

Mari jadikan Hari Raya Kurban sebagai titik balik: menjadi manusia yang lebih rendah hati, lebih bersyukur, dan lebih peduli. Karena pada akhirnya, kurban sejati bukan hanya yang tampak di luar, tapi yang tumbuh dan hidup di dalam hati.***