Penulis: Madura Post | Editor:
SUMENEP, MaduraPost – Semenjak wabah virus corona atau covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020, jaringan GUSDURian Peduli diminta untuk berjejaring dengan seluruh stake holder di tingkat wilayah dan komunitas yang ada di Kabupaten tersebut.
Pada tanggal 30 Mei 2020, Bupati Sumenep, Busyro Karim, melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat, mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang isinya adalah untuk Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Dalam SE tersebut berisi kewajiban kepada siapapun termasuk santri yang akan kembali ke pondok pesantren dan mahasiswa harus menyertakan hasil Rapid Test Non Reaktif dan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) negatif dari laboratorium atau lembaga resmi lainnya.
“Yang menjadi masalah adalah tidak mungkin jika misal seluruh santri melakukan rapid test dengan biaya dibebankan kepada person santri dan mahasiswa,” kata Faiqul Khair Al-Kudus, Koordinator GUSDURian Peduli Sumenep, Selasa (2/6).
Sementara, lanjut Faiq sapaannya, harga rapid test di rumah sakit dan lembaga resmi lain di Kabupaten Sumenep dikisaran harga Rp. 450.000,- menjadi berat secara ekonomi.
“Seharusnya, jika keputusan wajib rapid test harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sumenep sesuai dengan Undang-undang yang ada,” papar dia.
Selain itu, SE tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Faiq mengatakan, siapa saja bisa melanggar hal itu dan tidak boleh di sangsi atau dihukum.
“Jika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sumenep akan serius melakukan penanggulangan covid-19 bukan mengeluarkan SE Bupati, melainkan Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) yang jelas memiliki kepastian hukum,” jelasnya.
Disisi yang berbeda, pengasuh pondok pesantren, rektor perguruan tinggi, relawan dan masyarakat umum tidak diajak urun rembuk dan tidak diberikan akses informasi yang cukup oleh pemerintah kabupaten Sumenep.
Jelas, menurut dia, pemerintah dalam hal ini melanggar undang-undang yang lain yakni; Undang Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Semoga hal semacam ini tidak terulang kembali, sehingga menegaskan Pemkab Sumenep sedang bermain-main anggaran dalam kondisi bencana nasional covid-19,” pungkasnya. (Mp/al/kk)