Scroll untuk baca artikel
Daerah

Rakyat Menggugat: Suara Rakyat Sampang untuk Pilkades yang Tertunda

Avatar
8
×

Rakyat Menggugat: Suara Rakyat Sampang untuk Pilkades yang Tertunda

Sebarkan artikel ini
Aliansi Masyarakat Sampang (AMS) datang dari 14 desa di Kecamatan Jrengik berunjuk rasa memprotes penundaan Pilkades di 143 desa yang tak kunjung digelar sejak 2021. (SAMAN/MP)

SAMPANG, MaduraPost – Asap hitam dari ban yang dibakar membumbung tinggi di depan Kantor Kecamatan Jrengik, Sampang, Kamis (15/5/2025). Keranda simbolik diangkat tinggi, diguncang dalam lantunan orasi lantang yang menggema di sepanjang jalan nasional.

Di balik aksi teatrikal itu, ada keresahan mendalam yang selama ini terpendam: penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di 143 desa yang tak kunjung digelar sejak 2021.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Puluhan massa yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Sampang (AMS) datang dari 14 desa di Kecamatan Jrengik. Mereka tidak hanya datang membawa spanduk dan pengeras suara—mereka datang membawa amarah rakyat. Amarah yang lahir dari kekecewaan terhadap janji yang tak kunjung ditepati.

“Kami lelah menunggu! Rakyat butuh pemimpin definitif di desa, bukan pejabat sementara yang penuh tanda tanya,” teriak Rofik, koordinator aksi, di tengah kerumunan.

Baca Juga :  Usai Audiensi, Pelaku Tambang Apresiasi Langkah Bupati Pamekasan

Rofik mengungkapkan bahwa penundaan Pilkades sejak 2021 telah menimbulkan ketidakpastian dalam pembangunan dan pelayanan publik di tingkat desa.

Ia merujuk pada SK Bupati Sampang Nomor 188.45/272/KEP/434.013/2021 yang menyebutkan Pilkades serentak baru akan digelar pada 2025. Namun, kini tahun 2025 telah tiba, dan lagi-lagi, rakyat hanya disuguhi penundaan.

Lebih dari sekadar tertundanya kontestasi politik desa, AMS juga menyoroti munculnya isu miring: dugaan praktik jual beli jabatan Penjabat (Pj) Kepala Desa yang kini memimpin 143 desa di Sampang.

“Ini bukan lagi sekadar penundaan teknis, ini mencederai demokrasi dan membuka ruang praktik kotor,” tegas Rofik.

Baginya, kepala desa bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah tumpuan harapan masyarakat desa, pemimpin yang seharusnya dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh kekuasaan.

Baca Juga :  Tersangka Kasus Pedofilia di Sampang Terancam Hukuman 20 Tahun Penjara

Aksi ini pun akhirnya direspons oleh Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sampang, Sudarmanta.

Di hadapan massa, ia menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang No. 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

“Kami sepakat bahwa pelaksanaan Pilkades harus menunggu regulasi terbaru dari pemerintah pusat. Surat edaran dari Kemendagri dan Gubernur Jatim sudah jelas,” ujar Sudarmanta dengan nada hati-hati.

Namun jawaban itu tak mampu meredam kekecewaan massa. Bagi mereka, keterlambatan aturan bukan alasan untuk menunda hak politik rakyat yang selama empat tahun lebih telah dirampas.

Baca Juga :  PSSI Diduga Labrak Aturan, Pertandingan Sepak Bola di Sampang Berakhir Ricuh

Aliansi Masyarakat Sampang menilai, penundaan Pilkades yang terus-menerus bertolak belakang dengan amanah Pasal 4 Undang-Undang Desa tentang penguatan demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan desa.

Mereka mendesak agar Pilkades di 143 desa digelar secara bergelombang di tahun ini tanpa perlu menunggu habisnya masa jabatan di 37 desa lainnya.

“Demokrasi tidak bisa ditawar-tawar. Jangan karena alasan administratif, hak rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri malah diamputasi,” tutup Rofik.

Aksi di Jrengik hanyalah satu dari sekian letupan keresahan yang muncul di akar rumput. Jika tuntutan ini terus diabaikan, bukan tidak mungkin gerakan yang lebih besar akan muncul dari desa-desa lain. Karena bagi rakyat, demokrasi bukan sekadar prosedur—ia adalah harga diri.***