OPINI, MaduraPost – “Bukan lautan hanya kolam susu, jaring dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu”. Begitulah kira-kira lagu lawas yang sampai saat ini masih sangat suka aku dengarkan, sebab dengan lagu itu ada rasa bangga yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri ini.
Dahulu Soekarno pernah menulis bahwa Indonesia adalah negara agraris lantaran tanah yang terbentang luas di negri ini sangat begitu subur, bahkan seirama dengan lagu yang sering aku dengarkan itu bahwa tongkat kayu dan batu jadi tanaman.
Kekayaan rempah, padi, buah dan lain sebagainya sungguh sangat mudah untuk ditemui. Maka dari itu tidak heran jika bung Karno berpendapat bahwa Indonesia adalah negara agraris yang memberikan keberuntungan besar kepada para petani, bahkan dirinya juga menegaskan bahwa petani adalah jantung Indonesia.
Tidak lama setelah bung Karno menuliskan tentang hal itu, muncullah tulisan salah satu aktifis mahasiswa yang dikenal dengan sebutan pendekar pena. Mahbub Djunaidi sebagai salah satu penulis essai yang sangat kesohor dimasanya menuliskan bahwa Indonesia adalah negara maritim, sebagai bentuk kritik terhadap tulisan bung Karno, dan keberadaan tulisan dua pendekar hebat itu sama-sama memiliki dasar argumentatif sangat kuat.
Menurut Mahbub yang mengatakan Indonesia sebagai negara maritim karena laut Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa, ikan-ikan dan kekayaan laut lainnya begitu banyak bertabur dibumi Nusantara. Selain dari dua tulisan diatas juga terdapat literatur lain yang mengatakan bahwa penjajah memiliki keinginan besar untuk menguasai Indonesia dikarenakan terdapat kekayaan alam yang luar biasa.
Harusnya, dimasa Indonesia yang telah bebas dari tekanan para penjajah seperti saat ini, sepatutnya merasakan kenikmatan dari hasil kekayaan buminya sendiri. Tidak perlu takut dan risau akan kelaparan karena persoalan perut sudah dapat teratasi dengan hasil bumi Indonesia yang sangat subur.
Namun kenyataannya semua itu hanya menjadi ilusi semata lantaran kelompok-kelompok feodalis telah merenggut hak rakyat secara tidak langsung. Marilah sedikit picingkan mata untuk memandang kearah ujung timur pulau Madura, kota Sumenep namanya yang merupakan kota kelahiranku.
Ditulis oleh salah satu penulis lepas (Dardiri Zubairi) dalam bukunya yang berjudul Wajah Islam Madura. Dalam tulisannya dia sedikit menyinggung terkait investor yang mulai bertebar luas di kota Sumenep untuk melancarkan kepentingan pribadinya.
Alibi yang sering diutarakan oleh kelompok feodalis itu adalah untuk kesejahteraan rakyat, nyatanya rakyat tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Saat ini, kota Sumenep atau yang sering kali disebut kota keris itu sedang dihangatkan oleh kasus tambak udang milik investor, baik lokal maupun asing. Sebenarnya kasus tersebut sudah sangat lama diperbincangkan namun belum menemukan titik akhir.
Padahal semua itu telah dikawal berkali-kali oleh para aktivis, baik dari aktivis mahasiswa yang melakukan pengawalannya dengan cara pendekatan personal pada masyarakat untuk memberikan pemahaman, melakukan audiensi dan demonstrasi pada pihak anggota dewan perwakilan rakyat.
Bahkan selain itu juga ada pengawalan yang dilakukan oleh aktivis sosial dengan menggunakan segala cara untuk menolak investor itu. Tanah subur milik rakyat kini mulai diambil alih oleh investor untuk dijadikan tambak udang yang hal itu akan berakibat kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat.
Wacana yang mengatakan bahwa penggarapan tambak udang itu adalah untuk mensejahterakan rakyat bagiku sangat tidak masuk akal, karena pada nyatanya hal itu cuma akan mempererat tali penjerat leher masyarakat sekitar, bahkan usaha untuk terbebas dari tekanan kelompok feodal itu hanya akan menjadi mimpi belaka.
Sumenep memiliki keindahan alam yang luar biasa, sehingga membuka peluang besar untuk dijadikan destinasi wisata. Terdapat beberapa tempat wisata di kota Sumenep yang sangat diminati oleh pengunjung, baik dari dalam negri ataupun dari manca negara. Salah satunya adalah pantai Slopeng, pantai Badur, pantai Lombang, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun sayang kini tempat wisata tersebut sudah mulai tercemar oleh adanya tambak udang hasil tangan manusia tidak bertanggungjawab itu (investor). Pantai Lombang yang terkenal dengan sebutan pantai cemara kini telah kehilangan identitasnya, lantaran pohon-pohon cemara yang menjadi hiasan disepanjang jalan masuk menuju pantai Lombang telah habis ditebang.
Sebab lahannya akan dijadikan tambak udang oleh para investor. Tindakan para investor itu tidak hanya akan merugikan rakyat yang kehilangan tanahnya melainkan juga berdampak negatif bagi seluruh masyarakat yang ada di kota Sumenep, sebab dari saat ini sudah dapat dilihat bahwa Sumenep akan kehilangan kekayaan destinasi wisatanya.
Belum lagi limbah dari tambak udang yang mencemari lautan hingga membuat air laut di tepi pantai menjadi sangat kotor. Akhir-akhir ini sosial media dibanjiri oleh keluhan masyarakat Sumenep terkait limbah tambak udang itu, dimulai dari Facebook, Instagram, YouTube hingga berita-berita dimedia on-line pun ikut menyoroti hal tersebut.
Baiklah tidak apa-apa jika hal itu benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi setidaknya limbah dari tambak udang itu tidak harus dibuang langsung ke pesisir pantai agar tidak mencemari lautan, bahkan baunya yang menyengat pun sangat mengganggu minat pengunjung pantai Lombang.
Sehingga pantai itupun pada akhirnya tidak lagi menjadi minat para wisatawan untuk dijadikan tempat refreshing. Dari hal tesebut maka sudah sangat jelas akibat dari investor yang dengan sengaja merenggut surga rakyat, hingga pada akhirnya cuma para investor yang merasakan kekayaan bumi kota Sumenep sedangkan masyarakatnya sendiri akan mati perlahan.
Tanahnya telah dirampas, tempat wisatanya telah tidak diminati lagi, bahkan lautnya pun mulai dicemari. Jika masyarakat Sumenep tidak mau sadar akan hal ini maka bersiaplah kita untuk menjadi babu dirumah sendiri. Penjajahan bukan hanya berbentuk kekerasan fisik, akan tetapi penjajahan paling berbahaya adalah penjajahan mental yang akan membunuh karakter manusia hingga tidak lagi perduli pada kepentingan hidup bersama.
Salam berpikir sehat, dan selamat hari jadi ke-751 kota Sumenep ditanggal 31 Oktober 2020. Kini usia kotaku ini sudah mulai menua dan aset yang dimilikinya harus dapat dijaga. Maka dari hal itu, semuanya bergantung pada kesadaran dan kepedulian masyarat terhadap bumi tercinta “Kota Sumenep”.