Baginya, sebagai masyarakat Sumenep, tidak lupa dalam koridor perempuan, sepantasnya memiliki hak untuk bersuara. Apalagi, memperjuangkan hak-hak rakyat terutama buruh.
Meski begitu, isu miring perempuan ‘perokok’ malah menambah gigih tekat Dinda, akan perjuangan dirinya dalam menjadi lidah penyambung rakyat.
“Jadi hari ini yang dipermasalahkan di publik perihal tulisan yang mempersekusi beberapa kaum perempuan ikut massa aksi itu telah menentang dan menurunkan marwah seorang perempuan,” ucapnya.
Mewakili perempuan seusianya, khusus bagi masa perempuan di Sumenep, dengan lantang seolah microfont mengantarkan Dinda menjadi aktivis perempuan pejuang kaum buruh dan tikaman oligarki.
“Terkait persoalan chaos terhadap aparat. Jadi bagi saya pribadi tidak pernah merasa takut sama sekali, karena hal kemarin itu bukan pertama kali bagi saya. Saya juga sering diikuti demo-demo lainnya dan sering orasi mengatasnamakan rakyat, dan menyampaikan aspirasi kepada dewan-dewan yang terhormat,” tuang Dinda, dengan nada gemetar.






