SAMPANG, MaduraPost — Sabtu pagi itu, udara di Desa Aeng Sareh, Kabupaten Sampang, terasa sedikit lebih hangat dari biasanya. Di tengah semilir angin musim kemarau, warga berkumpul di sebuah balai desa sederhana. Tak sekadar temu warga biasa, hari itu menjadi ruang harapan bagi banyak pengelola lembaga pendidikan Islam yang selama ini berjalan dengan segala keterbatasan.
Ra Huda, anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PPP, datang dengan membawa pesan politik yang tak hanya sekadar janji. Di hadapan tokoh masyarakat, pemuda, dan sejumlah guru madrasah, ia berbicara tentang sesuatu yang kerap luput dari sorotan prioritas: nasib lembaga pendidikan Islam di Madura.
“Saya akan kawal dan dorong agar pemerintah provinsi menambah alokasi anggaran untuk madrasah di Madura,” ujar Nur Huda dalam suara yang tenang tapi tegas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lelaki yang dikenal dengan sapaan Ra Huda itu tidak sedang menabur janji kosong. Ia berbicara tentang Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) yang selama ini menjadi salah satu sumber utama kelangsungan kegiatan belajar-mengajar di madrasah, pondok pesantren, hingga TPQ. Di balik angka-angka APBD yang seringkali kaku dan teknokratis, ada kebutuhan nyata yang dirasakan langsung oleh lembaga-lembaga kecil berbasis keagamaan di pelosok desa.
Ra Huda paham betul bahwa selama ini ada semacam ketimpangan. Sekolah-sekolah negeri mendapatkan porsi besar dalam kebijakan pendidikan, sementara lembaga swasta keagamaan seperti madrasah harus berjibaku dengan kekurangan. Ia menyebut kondisi ini sebagai bentuk ketidakadilan struktural yang perlu diluruskan.
“Madrasah bukan pelengkap. Mereka pilar penting dalam membangun karakter generasi muda kita,” katanya.
Bagi masyarakat Madura, peran lembaga pendidikan Islam tidak hanya menyangkut transfer ilmu keagamaan. Ia juga menjadi ruang sosial yang menghidupkan nilai-nilai lokal, solidaritas, bahkan menjaga moralitas di tengah derasnya arus zaman. Guru ngaji, ustaz TPQ, pengasuh pondok: mereka semua bagian dari ekosistem pendidikan yang selama ini berjalan dengan daya juang dan pengabdian.
Namun pengabdian saja tak cukup. Ada kebutuhan yang mendesak: dukungan anggaran yang layak dan berkelanjutan.
Ra Huda menyadari itu. Ia pun menegaskan bahwa perjuangannya tak akan berhenti di forum reses semata. Ia berjanji mengawal aspirasi ini sampai ke meja rapat Badan Anggaran di DPRD Provinsi Jawa Timur.
“Karena proses pendidikan di madrasah dan TPQ ini tidak berhenti. Maka, anggarannya juga perlu terus kita dorong agar bertambah dan berkelanjutan,” ujarnya.
Pernyataan itu bukan hanya tentang angka, tapi soal keberpihakan. Di Madura, di mana lembaga pendidikan Islam telah lama menjadi penyangga nilai dan jati diri masyarakat, keberpihakan seperti ini lebih dari sekadar simbol politik. Ia adalah bagian dari upaya panjang untuk memastikan bahwa anak-anak di pelosok desa tak tertinggal dalam hal akses dan kualitas pendidikan.
Di tengah keterbatasan, masih banyak guru yang mengajar tanpa upah tetap, hanya mengandalkan honor yang datang tak menentu. Madrasah masih berdiri tanpa fasilitas memadai. TPQ masih mengandalkan papan tulis tua dan kitab lusuh yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ra Huda mungkin bukan tokoh pertama yang berbicara tentang ini. Tapi jika benar ia mengawal hingga tuntas, maka langkahnya akan tercatat sebagai bagian dari perjuangan panjang para pendidik kampung—yang selama ini berjalan sunyi, namun terus menyalakan cahaya.
Penulis : Imron Muslim
Editor : Nurus Solehen
Sumber Berita : MaduraPost.net