Scroll untuk melanjutkan membaca
Hukum & Kriminal

Kronologi Guru di Pamekasan yang Diduga Mendiskriminasi Siswa, Gara-gara Sakit Tak Mengerjakan PR

Avatar
×

Kronologi Guru di Pamekasan yang Diduga Mendiskriminasi Siswa, Gara-gara Sakit Tak Mengerjakan PR

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI: Salah seorang siswa SDN di Pamekasan diduga jadi korban diskriminasi oleh seorang guru kepala sekolah hingga menyebabkan anak trauma dan tidak mau sekolah. (dok/MP)

PAMEKASAN, MaduraPost – Kronologi kasus dugaan diskriminasi anak yang dilakukan seorang guru SD kepada anak didiknya di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, bisa dihayati untuk dijadikan pelajaran.

Sebab kasus ini muncul saat siswa yang jadi korban berinisial A tidak masuk sekolah gara-gara sakit. Wali murid korban yang diketahui bernama Nurjannatan Aina Ina Dewi lalu menghubungi wali kelas untuk meminta izin agar anaknya bisa berobat. Wali kelas tersebut mengizinkan.

advertisement
Scroll untuk melanjutkan membaca

Akan tetapi saat bersiap mau aktif sekolah, A sempat mencari kabar dengan bertanya kepada temannya soal apakah ada tugas Pekerjaan Rumah (PR). Temannya pun memberi tahu jika tidak ada PR sekolah.

Akan tetapi kenyataannya, setelah masuk ke sekolah, ternyata ada PR. Karena tidak mengerjakan PR, A lalu dimarahi hingga diminta untuk tidak sakit-sakitan agar rajin bersekolah.

Kejadian ini lantas diceritakan kepada orang tuanya di rumah Nurjannatan. Ia lalu menghubungi dan menegur wali kelas agar tidak memarahi anaknya hingga melampaui batas.

Baca Juga :  Mangkir Panggilan Polisi, Pelaku Pemerkosaan di Sana Tengah Harap Dijemput Paksa

Sikap emosional antara wali murid dan guru timbul. Nomor telepon wali murid tersebut diblokir. Sementara anaknya di sekolah kena imbas hingga mendapat perlakuan kurang baik dari guru wali kelasnya.

Sebab A saat hendak bersalaman pulang sekolah, tidak diterima dan ditepis oleh wali kelas. Atas kejadian tersebut, Nurjannatan mendatangi sekolah untuk menceritakan semua yang menimpa anaknya.

Namun Kepala Sekolah (Kepsek) sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap sekolah, justru meminta wali atau orang tua siswa bisa mematuhi aturan yang ada.

Dianggap jadi masalah serius, Kepsek lalu melakukan ultimatum tanda tangan kesepakatan untuk mengeluarkan A dari sekolah yang melibatkan 29 guru dan semua siswa.

Dalam upaya rencana ini, Kepsek diduga menggiring opini kebencian terhadap siswa A karena memicu masalah antara guru dan wali murid.

Baca Juga :  Penemuan Bayi Kembali Gegerkan Warga Desa Lebbek, Kapolsek Pakong Diam

Guru sekolah dan beberapa pihak berwenang sempat memediasi kasus ini. Akan tetapi gagal. Masalah yang tidak kunjung usai ini lalu menyita perhatian pemerintah dalam hal ini Disdikbud Pamekasan.

Kabar yang beredar, SJ di tengah kasus yang berpolemik, Disdikbud menarik jabatannya sebagai kepala sekolah dengan menggantikan orang lain.

Tujuannya masalah yang sudah dikasuskan itu bisa segera menemukan jalan keluar, sehingga guru yang dilaporkan tidak tersandung hukum.

Nurjannatan tidak diam, ia melakukan pembelaan dengan melayangkan surat pengaduan kepada beberapa stakeholders pendidikan, seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Pamekasan dan Disdikbud setempat.

Karena tidak ada yang merespons, Nurjannatan lalu mengambil langkah terakhir dengan melaporkan ke polisi yakni Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Pamekasan.

Kasi Humas Polres Pamekasan Iptu Sri Sugiarto mengatakan, kasus dugaan diskriminasi Kepsek SJ kepada anak didiknya, bisa disebut sebagai kasus perundungan anak di bawah umur.

Baca Juga :  Fakta Pembuangan Bayi di Puskesmas Sumenep Ternyata Hasil Hubungan Terlarang dengan Adik Tiri

Sebab kata dia, siswa yang jadi korban, dicari-cari kesalahannya hingga menyebabkan korban mengalami trauma dan tidak mau sekolah.

“Motifnya pelaku SJ diduga berupaya melakukan penggiringan opini dengan maksud agar membenci dan membully korban A,” kata Sri.

Meski demikian, polisi saat ini tengah melakukan langkah-langkah untuk mengusut dugaan perundungan anak di bawah umur yang sudah terjadi tiga bulan lalu tepatnya pada Senin 11 September 2023.

“Termasuk akan mendatangkan ahli bahasa dan akademisi untuk mendudukkan perkara ini,” ungkapnya.

Tidak tanggung-tanggung, untuk mendalami kasus ini, polisi sedikitnya sudah memeriksa 28 guru termasuk kepala sekolah yang diduga jadi otak pelaku.

“Kita telah periksa saksi-saksi, orang tua korban, korban, teman sekolah, kepala sekolahnya dan 28 guru,” ucapnya.***

Baca berita lainnya di Google News atau langsung ke halaman Indeks

Konten di bawah ini disajikan oleh advertnative. Redaksi Madura Post tidak terlibat dalam materi konten ini.