Scroll untuk baca artikel
Politik

Kisruh KPU dan Bawaslu Sumenep Soal Data, Begini Kata Pengamat Hukum

9
×

Kisruh KPU dan Bawaslu Sumenep Soal Data, Begini Kata Pengamat Hukum

Sebarkan artikel ini

SUMENEP, Madurapost.id – Kisruh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur yang membuat ketua Bawaslu hengkang dari forum pleno penetapan Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran (DPHP) pada Senin, 14 September 2020 kemarin mulai menjadi buah bibir dan perbincangan publik.

Salah satu pengamat hukum di Sumenep, Rausi Samorano, ikut angkat bicara tentang polemik yang dihadapi penyelenggara dan pengawas pemilu pada Pilkada 9 Desember 2020 mendatang itu.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

“Sebenarnya pangkal persoalannya adalah pada proses ketika temuan awal oleh Bawaslu itu tidak ditindaklanjuti, atau bahasa kasarnya tidak diindahkan oleh KPU,” kata Rausi, sapaan akrabnya, saat dikonfirmasi media, Minggu (20/9).

Masalahnya, persoalan A.B-KWK yang diminta oleh Bawaslu malah tidak diberikan akses oleh KPU, alasannya adalah data tersebut merupakan data rahasia yang dikecualikan.

“Jika kemudian proses pengawasan Bawaslu menjadi terganggu dan ada persoalan, hal ini akan menjadi pelik nantinya. Ketika ada perubahan data, misalnya pada jumlah data pemilih kurang lebih 40 sampai 50 ribu masuk daftar tidak memenuhi syarat (TMS), harus jelas posisinya dimana, sebab yang bertanggung jawab ini adalah KPU,” terang dia.

Menurutnya, daftar TMS adalah data yang tidak hanya sekadar menyebutkan angka kumulatifnya saja.

Baca Juga :  Bawaslu Ultimatum ASN di Sumenep Untuk Netral Pada Pilkada 2020

“KPU harus tahu itu, karena mereka yang mempunyai data valid sampai ke tingkat desa. Persoalan data yang dikecualikan tersebut sebenarnya salah persepsi atau salah menafsirkan aturan, saya kira,” tuangnya.

Pihaknya menguraikan, ada beberapa data yang menjadi rahasia dan tidak boleh disebarkan kepada sembarang orang. Dia menilai, KPU dalam hal ini mengartikan data rahasia tersebut tidak boleh diberikan kepada siapapun.

“Ditafsirkan secara hitam putih atau saklek, tanpa melihat aturan pelaksanaannya. Sehingga, kemudian termasuk orang yang berkepentingan pun tidak dikasih akses oleh KPU, jadi KPU hanya berpatokan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tentang administrasi kependudukan,” urainya.

Selain itu, Rausi menerangkan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 itu telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

“Jadi, yang masuk rahasia itu adalah data pribadi penduduk, nah ini kemudian ada aturan pelaksanaannya,” ucapnya.

Melihat secara rinci, aturannya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 Pasal 54 ayat (1). Kemudian, terdapat aturan terbaru yaitu Permendagri Nomor 102 Tahun 2019 tentang pemberian akses dan pemanfaatan data penduduk dalam Pasal 4 Ayat 1, yang boleh mengakses data penduduk adalah petugas Dukcapil Provinsi, Kabupaten/Kota, dan pengguna.

Baca Juga :  DPC Partai Gerindra Pamekasan Juara 2 Lomba Catur se Jawa Timur

“Nah, Bawaslu ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu, bahwa mereka punya hak untuk mengawasi. Dalam hak pengawasan itu diantaranya adalah mengawasi validasi data, Coklit, dan semacamnya. Artinya, Bawaslu berhak mendapatkan data, karena dia adalah lembaga negara,” paparnya.

Dalam penjelasannya, sambung Rausi, pengguna ini adalah lembaga Pemerintah, Kementerian, atau lembaga yang berkepentingan dengan data tersebut.

“Jadi, saya kira KPU ini tidak membaca Permendagri itu, hanya sekadar membaca surat edaran atau apa lah di internal KPU saja, ini yang kemudian disalah tafsirkan atau ada mis komunikasi antara KPU dengan Bawaslu,” sambungnya.

Sebab itu, kata dia, seharusnya KPU menjelaskan dan merinci data 50 ribu pemilih tersebut masuk TMS atau tidak. Padahal, data yang dilakukan sampai ke tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) sudah diakumulasikan.

“Yang meninggal berapa, yang pindah domisili berapa, dan yang tidak jelas alamatnya berapa persen juga. Bukan pas jumlahnya saja 50 ribu, tanpa ada penjelasan prosentase. Karena, 50 ribu ini kan data banyak,” jelasnya.

Pihaknya menilai, hal ini akan menjadi persoalan hasil di Pilkada nanti. Tidak hanya itu, apabila ada persoalan saat pelaksanaan Pilkada, bisa menjadi bukti jika ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga :  Karena Tak Pakai Masker Saat Konsolidasi Partai, Fattah Jasin Jadi Buah Bibir

“Pertama, orang akan beranggapan bahwa kisruh data ini berawal dari ketidakpatuhan KPU terhadap rekomendasi dari Bawaslu. Kemudian yang kedua, ketidakpatuhan ini bisa menyebabkan data yang tidak valid atau tidak jelas. Ketiga, bisa dijadikan bahan konfirmasi atas dugaan penggelembungan suara pemilih pada saat pemilihan presiden (Pilpres) kemarin. Maka untuk itu, ini harus diperjelas oleh KPU, kemana data tersebut,” tegasnya.

Disisi lain, lanjut Rausi, jika ada kekeliruan data maka akan menjadi masalah ditubuh KPU, dan bisa mencederai proses demokrasi yang sedang berjalan ini.

“Solusi sebenarnya, tinggal duduk bareng saja antara KPU dengan Bawaslu, kemudian rumuskan solusinya seperti apa yang tidak melanggar aturan. Tidak terlalu sulit sebenarnya, andaikan mereka mau memahami tugas dan fungsi masing-masing. Jangan lagi berkoar-koar di media tanpa memahami aturan internal maupun eksternal masing-masing,” timpalnya.

“Tapi, apabila mereka tetap pada pendiriannya masing-masing tidak masalah. Hanya saja, saya sarankan Bawaslu kembali ke Pasal 219 UU 07 tahun 2017. Laksanakan juga pasal 480, 510 dan 512, biar KPU yang ngotot itu akan berurusan dengan penyidik dengan ancaman 3 tahun penjara dan denda Rp. 36 juta,” pungkasnya. (Mp/al/rul)