PAMEKASAN, MaduraPost – Air mata Bunga (nama samaran) menetes saat menceritakan kembali kisah hidupnya. Mahasiswi asal Desa Pakong, Kabupaten Pamekasan ini tak pernah menyangka bahwa perkenalannya dengan seorang pria lewat WhatsApp akan mengubah hidupnya menjadi mimpi buruk.
Awalnya, komunikasi mereka berjalan wajar. Hingga suatu hari, kyai muda yang merupakan putra da’i kondang inisian AH mengajaknya bertemu dan melontarkan rayuan yang membuat Bunga percaya.
“Dia bilang kalaupun hamil, dia akan tanggung jawab. Saya percaya karena saya pikir dia orang baik,” ujar Bunga dengan suara bergetar.
Beberapa bulan kemudian, Bunga dinyatakan hamil 5 bulan. Keluarganya meminta pertanggungjawaban, dan AH datang membawa janji manis, menikah siri dulu, lalu dalam 2–3 hari akan langsung dicatatkan di KUA.
“Saya cuma ingin anak saya lahir dengan status jelas. Saya mau semuanya resmi,” kenangnya.
Namun, janji itu hanya tinggal janji. Setelah menikah siri, Bunga dibawa ke rumah suami dan diperlakukan tidak layak. Dalam kondisi hamil besar, ia dipaksa mencuci, memasak, dan melayani keluarga, serta dilarang menghubungi orang tuanya.
“Saya seperti dipenjara. Tidak boleh keluar, tidak boleh telepon orang tua. Rasanya sesak sekali,” ucap Bunga, matanya berkaca-kaca.
Penderitaan itu memuncak saat ia melahirkan prematur. Bayinya yang lahir di usia kandungan 7 bulan hanya bertahan 8 hari. Lebih menyayat hati, Bunga mengaku tidak diberi kabar ketika sang anak meninggal.
“Saya tahu dari orang lain. Saya lari ke rumahnya untuk lihat anak saya terakhir kali. Rasanya hati saya hancur,” katanya sambil menahan tangis.
Tak lama kemudian, AH mengantarnya pulang dengan alasan agar tidak lelah. Beberapa minggu setelah itu, pria tersebut datang hanya untuk mengucapkan cerai secara lisan, lalu pergi meninggalkan Bunga tanpa kabar.
“Nomor saya diblokir. Semua pintu komunikasi ditutup. Saya ditinggal begitu saja,” ungkapnya.
Lewat kuasa hukumnya, Yolies Yongky Nata dari Kantor Hukum Lawyer Independent, Ayu melaporkan dugaan KDRT, perbuatan tidak menyenangkan, dan penipuan ke Polres Pamekasan.
“Bunga kehilangan anak, kehilangan kehormatan, dan mengalami trauma mendalam. Meski pernikahan tidak tercatat negara, UU PKDRT tetap melindungi korban seperti Ayu. Kami akan berjuang agar pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum,” tegas Yolies.
Kini, Bunga berharap laporannya menjadi pintu keadilan. “Saya hanya ingin dihargai, bukan dipermainkan. Tidak ada perempuan yang pantas diperlakukan seperti ini,” pungkasnya.






