FEATURES, MaduraPost – Di ujung senja yang meremang, cahaya matahari terakhir merayap di sela dedaunan, seolah berbisik lirih kepada bumi, jangan lelah menanam kebaikan.
Di sebuah sudut kota ujung timur Pulau Madura, berdirilah LBH Achmad Madani Putra dan Rekan-rekan, bukan sekadar kantor hukum, melainkan rumah bagi mereka yang kehilangan arah di persimpangan nasib.
Pintu mereka tak pernah terkunci bagi keluh dan tangis rakyat kecil. Di sana, hukum tidak dibicarakan dengan nada dingin seperti di buku tebal yang berdebu, tetapi dihangatkan oleh kisah manusia, oleh rasa iba yang tumbuh menjadi tekad.
“Bagi kami, hukum bukan sekadar tumpukan pasal. Ia adalah denyut kehidupan, napas kemanusiaan,” tutur Kamarullah, Ketua Umum LBH Achmad Madani Putra dan Rekan-rekan, sambil menatap jauh seolah melihat wajah-wajah yang pernah ia bela, Sabtu (9/8).
“Selama nyawa masih dikandung badan, kami akan berdiri di sisi yang lemah, melawan arus yang ingin menenggelamkan mereka,” ucap pria yang karib disapa Mas Kama melanjutkan narasi berpikirnya.
Mereka yang datang ke LBH ini kerap membawa beban tak kasat mata. Buruh pabrik yang haknya dicuri, petani yang lahannya direbut, nelayan yang perahunya ditahan, hingga seorang ibu yang rumahnya hendak diratakan oleh buldoser.
Kepada semua, LBH ini memberi pelukan berupa keberanian, dan membungkusnya dengan strategi hukum yang teguh.
Setiap lembar gugatan yang mereka ajukan bukan sekadar dokumen formal, melainkan secarik doa. Setiap argumen di ruang sidang bukan sekadar retorika, melainkan nyala obor di malam pekat.
“Setiap kemenangan hukum yang kami raih adalah kemenangan sosial,” ujar Kamarullah lagi.
“Ia mengembalikan keyakinan bahwa hukum masih bisa menjadi pelindung, bukan sekadar alat penguasa,” timpalnya.
Dan memang, riak dari perjuangan itu menjalar. Warga mulai belajar bersuara, memahami haknya, menolak tunduk pada intimidasi.
Mereka tak lagi memandang hukum sebagai menara gading, melainkan sebagai tanah lapang tempat semua berdiri sejajar.
LBH Achmad Madani Putra dan Rekan-rekan seperti pohon tua di tengah desa, akarnya menghujam kuat, cabangnya menaungi siapa saja yang lelah berjalan.
Di bawah naungannya, orang-orang menemukan kembali rasa percaya bahwa kebaikan tak selalu kalah oleh kelicikan, bahwa ketulusan tak selalu terpinggirkan oleh tipu daya.
Dan ketika malam jatuh, kantor itu tetap terang. Lampu menyala, kertas berserakan, pena tak henti menari. Di sanalah keadilan menemukan rumahnya.
Kelak, entah di pengadilan atau di jalanan, akan lahir lebih banyak jiwa yang berani berdiri. Bukan karena mereka tak takut kalah, tetapi karena mereka telah belajar dari LBH ini bahwa melawan adalah bagian dari mencintai kehidupan.
“Selama keadilan masih dicari, kami akan menjadi pelita, meski harus menyala di tengah badai,” tutur Mas Kama dengan nada pelan namun penuh daya.***
SEPENGGAL PUISI MAS KAMA
Pelita Keadilan
Di lorong sunyi, Kamarullah melangkah tanpa gentar
Membawa panji LBH Achmad Madani Putra dan Rekan-rekan,
bukan hanya mengusung pasal,
tapi menghidupkan napas kemanusiaan.
Mereka berdiri menadah air mata, menumbuhkan harapan, menyalakan obor di malam yang pekat.
Keadilan, bagi mereka, bukan menara gading yang jauh di awan, melainkan tanah lapang tempat semua berdiri sejajar.
Selama badai masih mengguncang,
nama LBH Achmad Madani Putra dan Rekan-rekan akan tetap menjadi pelita, menyala meski sendirian.

