Scroll untuk baca artikel
Headline

Dugaan Kecurangan di Polres Sumenep, Kasus Sengketa Tanah Macet Tanpa Tersangka

Avatar
14
×

Dugaan Kecurangan di Polres Sumenep, Kasus Sengketa Tanah Macet Tanpa Tersangka

Sebarkan artikel ini
LIPSUS. Tim Kuasa Hukum H. Fathor Rasyid saat memasang plakat hasil putusan Pengadilan Negeri Sumenep dan Pengadilan Negeri Tinggi Surabaya lahan sengketa yang berlokasi di perbatasan Kecamatan Bluto dan Pragaan. (M.Hendra.E/MaduraPost)

SUMENEP, MaduraPost – Muncul kembali dugaan adanya ketidakberesan dalam penanganan kasus hukum yang ditangani Polres Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Seperti halnya kasus penebangan dan pencurian pohon yang melibatkan Abdul Wasik Baidhowi dan kawan-kawannya sebagai pihak yang dilaporkan, menjadi contoh jelas adanya dugaan kecurangan dalam proses hukum yang dijalankan oleh Polres Sumenep.

SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA

Nadianto, yang merupakan kuasa hukum Iftitah, putra dari H. Fathor Rasyid sebagai korban dalam kasus ini, menyebutkan bahwa laporan awal kasus tersebut diajukan pada 15 September 2022, dengan nomor laporan LP/B/IX/2022/Polres Sumenep/polda Jawa Timur.

Namun, setelah dua tahun berlalu, tidak ada perkembangan signifikan dari pihak kepolisian terkait kasus ini.

Untuk diketahui, lokasi lahan seluas setengah hektare yang diklaim milik Abdul Wasik Baidhowi berada di Desa Guluk Manjung, Kecamatan Bluto. Tepatnya di perbatasan Kecamatan Bluto dan Pragaan.

Baca Juga :  PT Garam dan Insan Pers Bahas Soal Anggaran TJSL Tahun 2024, Ini Peruntukannya

Berdasarkan pantauan di lapangan, di atas tanah yang disengketakan tersebut terdapat bangunan masjid dan rumah yang didirikan oleh Abdul Wasik Baidhowi.

Namun, putusan Pengadilan Negeri Sumenep dengan nomor 8/PDT/2023/PN.SMP dan diperkuat oleh putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya nomor 391/PDT/2024/PT.SBY, menegaskan bahwa tanah itu secara sah milik H. Fathor Rasyid.

“Walaupun saksi-saksi telah dimintai keterangan dan bukti-bukti telah diserahkan, hingga kini pelapor dan korban tidak pernah mendapat informasi yang jelas mengenai status dan perkembangan kasus ini,” ungkap Nadianto dalam keterangannya pada media, Jumat (23/8).

Dia menjelaskan, bahwa permintaan resmi dari pihaknya mengenai status pemeriksaan juga tidak ditanggapi oleh Polres Sumenep.

“Situasi ini semakin menguatkan kecurigaan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan indikasi ‘kongkalikong’ antara Polres Sumenep dengan para tersangka,” kata dia menegaskan.

Lebih lanjut, Nadianto mengungkapkan bahwa pelapor, yang berasal dari kalangan masyarakat biasa, tampaknya mendapat perlakuan tidak adil.

Baca Juga :  Komando HAM Desak Kejari Sampang Tangkap Kades Gunung Rancak

Sebaliknya, para tersangka yang merupakan tokoh masyarakat dengan pengaruh kuat di Kabupaten Sumenep, tampaknya kebal terhadap hukum.

“Hingga saat ini, para tersangka dan rekan-rekannya yang seharusnya sudah dipanggil dan ditahan, masih bebas berkeliaran. Bahkan, mereka diduga sering mengejek korban ketika bertemu di wilayah tempat tinggal mereka,” kata dia mengungkapkan.

Fakta-fakta ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada praktik tidak sehat dalam penanganan kasus tersebut oleh Polres Sumenep.

“Jika dugaan ini benar, maka jelas ini merupakan sebuah pengkhianatan terhadap prinsip keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh aparat penegak hukum,” tegasnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kasubbag Humas Polres Sumenep, AKP Widiarti S mengatakan, kasus yang dilaporkan oleh Iftitah bukanlah kasus biasa.

Prosesnya, kata Widi menjelaskan, bahwa tidak bisa selesai dalam kurun waktu yang cepat.

Baca Juga :  Posternya Ramai di Sampang, Gus Khoiron : Mungkin Masyarakat Ingin Pemimpin Baru

“Itu bisa bertahun-tahun selesainya,” ucap Widiarti saat dihubungi oleh wartawan.

Ditanya lebih jauh terkait kasus tersebut mengapa belum ada tersangka, Widi berdalih belum bisa memastikan kapan.

“Coba langsung hubungi penyidiknya ditanya, dan SP2HP-nya seperti apa. Kan pelapor pasti mendapatkan SP2HP itu,” dalihnya.

Selain diperkuat oleh putusan Pengadilan Negeri Sumenep dan putusan banding Pengadilan Tinggi Surabaya, M. Dahnan, selaku saudara tertua dari Abdul Wasik Baidhowi, telah mengingatkan agar saudaranya itu tidak mengambil keputusan yang semena-mena.

“Yang ada disini pemiliknya H. Rasyid. Wasik ini menyerobot tanah. Dia sewenang-wenang membangun tanpa ada musyawarah,” tandasnya.

Bahkan, ketika dirinya memperingatkan Abdul Wasik Baidhowi alias sang adik untuk menyelesaikan masalah ini secara musyawarah, malah ia yang dimusuhi.

“Saya sudah memperingatkan Wasik, tapi dihiraukan. Saya pun malah difitnah,” tandasnya.***