SUMENEP, MaduraPost – Kasus perubahan suku bunga kredit secara mendadak di Bank Tabungan Negara (BTN) telah memicu isu serius di dunia perbankan Indonesia, terutama setelah insiden yang menimpa Nanda Wirya Laksana, pemilik Perumahan Bukit Damai di Sumenep.
Masalah ini menggambarkan bagaimana kebijakan suku bunga yang berubah secara tiba-tiba menimbulkan ketidakpastian bagi nasabah, melanggar prinsip keterbukaan yang telah diatur oleh Bank Indonesia.
Nanda Wirya Laksana menjelaskan, bagaimana salah satu konsumennya, Sugiati Puji Utami, telah diberikan persetujuan kredit dengan suku bunga 5,25 persen berdasarkan Surat Persetujuan Penyediaan Kredit (SP3K) yang diterbitkan pada 10 Juli 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ketika proses realisasi akan dilakukan, suku bunga tersebut berubah menjadi 5,99 persen tanpa penjelasan memadai.
“Waktu itu, sudah jelas suku bunga di SP3K adalah 5,25 persen, tetapi saat mau realisasi, tiba-tiba berubah jadi 5,99 persen,” keluh Nanda dalam wawancaranya dengan beberapa awak media, pada 30 Agustus 2024.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran tentang dugaan pelanggaran hukum, karena perubahan suku bunga setelah SP3K dikeluarkan tidak seharusnya dilakukan tanpa dasar yang jelas.
Hal ini melanggar prinsip transparansi yang diatur oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/15/PBI/2012, yang mewajibkan bank untuk memberikan informasi lengkap dan jelas tentang produk mereka, termasuk suku bunga kredit.
Menurut Pimpinan Kantor Cabang Pembantu (KCP) BTN Sumenep, Ali, kenaikan suku bunga tersebut adalah hasil dari kebijakan pusat yang dapat berubah sewaktu-waktu.
“Kenaikan suku bunga ini mengikuti aturan yang ada, jadi sifatnya bisa mendadak, tergantung kebijakan pusat terhadap setiap pengajuan,” jelasnya.
Pada 2 September 2024, Kepala Kantor Cabang BTN Bangkalan, Asep Hendrisman, turun langsung ke Sumenep untuk mengklarifikasi masalah tersebut dan meminta maaf kepada Nanda Wirya Laksana dalam pertemuan tertutup di kantor KCP BTN Sumenep.
Wartawan yang awalnya tidak diizinkan meliput, akhirnya diperbolehkan masuk setelah pertemuan berlangsung sekitar satu jam. Asep menyatakan bahwa persoalan tersebut telah diselesaikan secara damai dan meminta maaf kepada Wirya.
Namun, ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang kenaikan suku bunga yang menjadi inti masalah.
“Kami sudah diskusikan dengan Mas Wirya, dan sepakat untuk islah. Ini murni karena miskomunikasi,” ujarnya.
Meskipun demikian, pernyataan tersebut menambah ketidakpastian bagi nasabah dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah BTN telah melanggar prinsip transparansi dan keterbukaan yang diatur oleh Bank Indonesia.
Perubahan suku bunga yang terjadi tiba-tiba tanpa pemberitahuan yang jelas dapat dianggap bertentangan dengan regulasi yang berlaku.
Potensi Dampak bagi Nasabah Lain
Kasus Nanda Wirya Laksana mungkin hanya salah satu contoh dari banyaknya kasus serupa yang mungkin dihadapi oleh mitra atau nasabah BTN lainnya.
Perubahan suku bunga yang mendadak bisa merugikan pihak-pihak yang bergantung pada kredit, terutama para pengembang properti yang memerlukan stabilitas dalam pembiayaan untuk menjalankan proyek mereka.
Jika perubahan kebijakan semacam ini tidak ditangani dengan baik, Bank BTN bisa menghadapi tuntutan hukum dari nasabah yang merasa dirugikan, selain juga merusak kepercayaan publik terhadap bank sebagai institusi yang seharusnya menjalankan prinsip perbankan yang baik.
Pelanggaran Aturan dan Kepatuhan Terhadap Hukum
Berdasarkan kasus ini, BTN mungkin telah melanggar peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia terkait penetapan suku bunga kredit.
Otoritas keuangan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menindaklanjuti kasus-kasus semacam ini dengan serius, untuk memastikan bahwa bank-bank yang beroperasi di Indonesia mematuhi semua regulasi yang berlaku.
BTN juga diwajibkan memberikan penjelasan resmi terkait perubahan suku bunga yang terjadi, serta memastikan bahwa kebijakan tersebut sesuai dengan aturan hukum.
Investigasi mendalam dari regulator perbankan sangat dibutuhkan untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran dalam kasus ini. Jika terbukti ada pelanggaran, sanksi yang tegas harus diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang.
Tindakan Bank Indonesia dan OJK
Kasus ini juga menunjukkan pentingnya pengawasan yang ketat dari otoritas keuangan. Bank Indonesia dan OJK harus memastikan bahwa setiap bank mematuhi aturan terkait transparansi dan memberikan kepastian kepada nasabah, terutama dalam hal yang berkaitan dengan suku bunga kredit.
Kepercayaan nasabah terhadap perbankan sangat bergantung pada kepatuhan bank terhadap regulasi dan prinsip keadilan dalam layanan yang diberikan.
Analisis Kasus
Berbagai aspek permasalahan yang dialami Nanda Wirya Laksana dapat dianalisis dengan mengacu pada peraturan Bank Indonesia.
Pertama, proses pencairan kredit yang lambat dan termin pembayaran yang tidak sesuai dengan perjanjian, menimbulkan potensi pelanggaran terhadap aturan layanan kredit yang efisien.
Kedua, pembatalan realisasi kredit tanpa alasan yang jelas, terutama setelah SP3K diterbitkan, dapat melanggar prinsip keterbukaan informasi yang diwajibkan dalam perbankan.
Ketiga, perubahan suku bunga yang mendadak setelah SP3K dikeluarkan menimbulkan ketidakpastian dan dianggap tidak sejalan dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Terakhir, kelalaian internal dalam administrasi kredit juga bisa menjadi indikasi pelanggaran prosedur yang wajib ditangani oleh pihak BTN.
Secara keseluruhan, kasus ini memperlihatkan perlunya BTN untuk lebih memperhatikan SOP internal mereka, serta menjaga komunikasi yang lebih baik dengan nasabah.
Kejelasan dalam layanan kredit dan kepatuhan terhadap peraturan perbankan sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.***